Kuli otak yang bertekad jadi penulis dan pengusaha | IG : @nodi_harahap | Twitter : @nodiharahap http://www.nodiharahap.com/
Finansial Sehat dengan Resep Belanja Bijak
Perasaan bahagia kontan meliputi barisan pekerja. Pasalnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah telah menerbitkan Surat Edaran No.M/2/HK.04.00/III/2023 pada tanggal 27 Maret 2023.
Salah satu ihwal yang diatur dalam beleid itu adalah kewajiban bagi pelaku usaha untuk membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR) paling lambat tujuh hari sebelum Idulfitri. Artinya, per Jumat lalu (14/04), para pekerja semestinya sudah memperoleh haknya.
Namun, isu klasik finansial berupa “besar pasak daripada tiang” agaknya masih sulit dihindari siapa saja, termasuk pekerja. Jika gagal dikelola dengan baik, THR akan menguap begitu saja.
Benar, kan?
***
Memang, benar. Jika ditilik dari sudut pandang makroekonomi, belanja akan menggerakkan roda perekonomian. Ekonomi bakal tumbuh signifikan. Uang yang dibelanjakan akan memutar dan menghidupkan simpul-simpul aktivitas ekonomi.
Misalnya, begini. Ketika kita berbelanja barang, katakanlah baju Lebaran, terjadi perpindahan dana dari kita kepada pedagang. Lalu, uang itu akan digunakan pedagang untuk membeli kebutuhan pokok, katakanlah makanan dan minuman.
Terjadi lagi perpindahan dana dari pedagang baju kepada pedagang makanan dan minuman. Pedagang makanan dan minuman akan membelanjakan uang yang diterimanya untuk membayar tagihan dari pemasoknya. Terjadi lagi perpindahan dana. Begitu seterusnya.
Singkat cerita, dari sepotong baju yang kita beli, maka aktivitas ekonomi akan berputar. Tidak hanya dari sisi pedagang baju serta pedagang makanan dan minuman, melainkan lebih dari itu.
Itulah yang disebut efek pengganda (multiplier effect) dalam ilmu makroekonomi. Uang yang dibelanjakan akan lebih bermanfaat bagi perekonomian ketimbang hanya disimpan di dalam rekening atau di bawah bantal.
Akan tetapi, di sisi lain, kita juga paham. Dari sudut pandang ilmu mikroekonomi, setiap pengeluaran harus diperhitungkan dengan cermat. Tidak boleh ugal-ugalan atau asal-asalan, agar terhindar dari risiko boncos uang alias bangkrut.
Yang menarik, kendati prinsip dasar mengelola uang telah diajarkan sejak dulu, fakta yang terjadi kerap bertolak belakang. Riset GoBankingRates, seperti dikutip Kompas.com, mengatakan generasi milenial cenderung jauh lebih boros ketimbang generasi lainnya.
Sementara struktur penduduk Indonesia, saat ini, seperempatnya adalah barisan milenial. Artinya, risiko gagal mengelola uang akibat perilaku boros begitu besar. Terlebih, tren perilaku impulsif dalam berbelanja juga kian marak merundungi generasi muda.
Lihat rekan sekantor menenteng iPhone keluaran terbaru, lantas impulsif, besok langsung gesek kartu kredit. Lihat teman sedang liburan ke Bali, lalu FOMO, besok langsung beli tiket.
Jika perilaku Anda demikian, maka itu tandanya Anda tengah terjangkit virus belanja impulsif. Pertanyaannya, apakah perilaku itu baik?
Banyak yang bilang, ya, tidak apa-apa belanja impulsif. Kan, uangnya dari hasil kerja keras dan jerih payah sendiri. Emangnya nyusahin elo?
Barisan yang lain berkata, silakan aja belanja impulsif. Tapi kalau uang elo habis, awas, ya, minjem uang ke gue!
Kawan yang budiman. Sudah, jangan bertengkar. Jika berkenan menggunakan logika kesehatan finansial, tentu kita akan sepakat. Belanja impulsif punya lebih banyak mudarat ketimbang manfaat.
Jika terbiasa belanja impulsif, maka risiko bangkrut akan semakin besar. Kalau dana yang tersimpan di dalam tabungan masih mumpuni, mungkin tidak apa-apa. Tapi kalau tabungannya habis, tendensi untuk berutang kian membesar.
Kalau sudah berutang, apalagi hanya untuk memuaskan keinginan, itu bahaya. Bisa-bisa gagal bayar. Bisa-bisa ditagih penagih utang. Kalau sudah seperti itu, keluarga atau bahkan teman-teman kita yang akan ikut kena getahnya.
Sering kita dengar berita perilaku penagih utang yang sudah kelewat batas. Ada yang mengancam ingin menyebarkan foto-foto pribadi. Ada pula yang tega menggunakan jalur kekerasan sebagai jalan ninja menagih utang. Amit-amit!
Jadi, belanja itu tidak salah. Perilaku boros-lah yang salah.
Ungkapan itu diyakini sebagai jalan tengah. Tidak peduli Anda orang kaya atau kurang beruntung, perilaku boros tetap salah. Karena boros artinya membelanjakan uang secara berlebihan, melebihi apa yang Anda butuhkan.
Hanya saja, tendensi belanja berlebihan memang lebih tinggi saat punya banyak uang. Apalagi THR baru cair. Rasanya, apa-apa saja bisa dibeli. Tidak perlu berpikir dua kali, yang penting beli saja dulu.
Kecenderungan itu pula yang dimanfaatkan oleh banyak penyedia barang dan jasa. Tahu kantong konsumen sedang tebal-tebalnya, berbagai iklan dan promo menggiurkan segera ditebar demi menjaring cuan.
Yang tipis iman, pasti tergiur dan membeli, tanpa pikir dua kali. Yang tebal iman, tidak akan terpengaruh, selama barang dan jasa yang diiklankan bukanlah yang ia butuhkan.
Pertanyaannya, apa yang harus kita perbuat agar menjadi sosok yang tebal iman?
Tenang. Artikel ini ada untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi, penafian dulu. Segala resep yang saya bagikan di sini berasal dari pengalaman pribadi. Bisa jadi cocok untuk Anda, bisa jadi sebaliknya.
Apa pun itu, saya berharap Anda meraih manfaatnya. Karena seperti kata pepatah, “Berbagi itu tidak merugi.” Jadi, ayo kuliti resep menjaga finansial tetap sehat selama Ramadan dan Idulfitri dengan berbelanja secara bijak.
Belanja Bijak
Belanja bijak bermakna sederhana. Prioritaskan kebutuhan daripada keinginan. Cermati apa yang ingin Anda beli, apakah termasuk ke dalam barisan “kebutuhan”? Atau jangan-jangan hanya ada di rentang “keinginan”?
Kalau setelah dicermati ternyata barang yang Anda butuhkan itu memang merupakan suatu kebutuhan, ya, beli saja, selama dananya tersedia. Tapi jika sebaliknya, maka tidak perlu dibeli, atau paling tidak tunda pembeliannya.
Saya ceritakan pengalaman saya. Sejak 2018, saya ingin sekali punya MacBook. Uangnya ada. Malahan lebih. Jumlah dana di tabungan saya bahkan sudah melampaui sepuluh kali harga MacBook di pasaran.
Akan tetapi, apa yang saya lakukan?
Saya tidak pernah membeli MacBook. Karena itu bukan barang yang saya butuhkan. Sebab saya sudah punya tiga laptop. Satu fasilitas kantor untuk bekerja. Dua lagi milik saya pribadi. Saya juga tidak berminat menjual laptop-laptop saya untuk membeli MacBook.
Kendati saya mampu membeli MacBook, saya tetap bergeming. Saya tetap memegang teguh prinsip belanja bijak. Dan saya berniat, MacBook hanya akan saya peroleh dari hadiah memenangi kompetisi menulis.
Kebetulan, sejak dulu, saya memang hobi ikut lomba menulis. Banyak penyelenggara lomba menulis yang memasang MacBook sebagai hadiah juara utama. Karena itulah, semampu apa pun saya, saya tidak akan pernah membeli MacBook.
Berbagai lomba menulis yang hadiahnya MacBook saya ikuti. Entah berapa kali gagal. Tapi saya terus mencoba.
Hingga akhirnya, tahun 2022, saya berhasil menjuarai kompetisi menulis yang hadiahnya MacBook. Setelah empat tahun lebih cuma mendamba, akhirnya punya MacBook juga.
Dari cerita di atas, saya tidak sedang mengajak Anda untuk menempuh cara yang serupa dengan saya. Tidak. Yang mau saya titipkan adalah semangat belanja bijak. Tunda keinginan, utamakan kebutuhan. Itu saja.
Sebagai contoh, baju Lebaran, misalnya. Kita paham, budaya mengenakan baju baru saat Lebaran sudah begitu melekati jiwa penduduk Indonesia. Kita paham.
Tapi, alangkah baiknya jika budaya membeli baju Lebaran itu kita lakukan dengan cara-cara yang benar sesuai prinsip belanja bijak. Pertama, pastikan uangmu tersedia. Jangan sampai berutang untuk beli baju Lebaran.
Lagipula, beli baju Lebaran itu bukan suatu kewajiban. Yang wajib itu berpuasa Ramadan. Jadi, jangan sampai keliru merancang prioritas. Apalagi sampai berutang untuk beli baju Lebaran.
Percayalah, Kawan. Berutang itu, kendati tidak dilarang, merupakan pintu kemudaratan. Nabi sendiri mengajarkan, dalam Hadis Riwayat Ahmad, jangan sampai kita meneror diri sendiri dengan berutang, padahal sebelum punya utang, kita berada dalam keadaan aman.
Baca juga: Setahun Bebas Utang, Apa Rasanya?
Kalau uangnya ada, maka lanjutkan cara yang kedua. Lihat lemarimu. Apakah baju Lebaran tahun lalu masih ada dan layak pakai? Jika iya, dan masih tetap ingin membeli baju baru, maka sumbangkan saja baju Lebaran-mu yang lama kepada mereka yang membutuhkan.
Hitung-hitung beramal, kan? Supaya saldo pahala kita kian bertambah di sisi-Nya. Lagipula, menebar manfaat kepada mereka yang membutuhkan akan menentramkan perasaan. Percaya, deh!
Jadi, bagaimana? Sudah siap berbelanja bijak? [Adhi]
***