Kuli otak yang bertekad jadi penulis dan pengusaha | IG : @nodi_harahap | Twitter : @nodiharahap http://www.nodiharahap.com/
Bentang Nusantara dalam Sepiring Ikan Bakar
Apa kuliner yang paling menggambarkan Nusantara?
Menjawab pertanyaan di atas sungguh tidak mudah. Sebab sejak dulu kala, Nusantara tersohor dengan keberagaman kulinernya. Beriklim tropis dan terletak di antara dua benua, Tanah Air kita menjadi primadona bangsa mana pun yang menyinggahinya.
Jika tidak percaya, tanyakan saja kepada Portugis, Belanda, atau Negeri Sakura. Salah satu alasan yang membuat ketiga bangsa itu betah menduduki Nusantara adalah kekayaan rempah-rempah kita. Itu pula yang akhirnya memperkaya khazanah kuliner kita.
Oke. Balik ke pertanyaan semula. Jika jawaban Anda rendang, maka Anda tidak keliru.
Faktanya, sejak 2011, rendang dinobatkan sebagai sajian paling enak sedunia pada ajang World’s 50 Most Delicious Food versi CNN International. Peringkat nomor wahid itu terus digenggam hingga delapan tahun berturut-turut.
Hanya saja, kendati paling enak sedunia, menurut saya pribadi, rendang belum seutuhnya menggambarkan Nusantara.
Rendang dipopulerkan oleh suku Minangkabau, Sumatera Barat. Meskipun sudah ditasbihkan sebagai hidangan nasional, banyak yang mengatakan rendang yang asli hanyalah buatan orang Minangkabau.
Oleh sebab itu, untuk menjawab pertanyaan pada kalimat pertama artikel ini, kita harus mengulik lebih jauh ihwal jati diri dan identitas bangsa. Jauh ke belakang, sebelum era kemerdekaan.
Kalau pola pikir kita berangkat dari sana, maka kita akan menemukan jawabannya:
“Nenek moyangku seorang pelaut.”
Ya, kutipan lirik lagu ciptaan Ibu Sud itu sebenarnya menegaskan siapa jati diri kita sebenarnya. Kata “Nusantara” pun sejatinya bermakna gugusan pulau-pulau yang dipersatukan oleh lautan. Dengan demikian, kata kuncinya adalah laut.
Maka dari itu, kuliner seorang pelaut pasti berasal dari kekayaan laut. Dan, tidak ada satu pun bahan makanan yang lebih pantas merepresentasikan kekayaan laut dibanding ikan-ikanan.
Oleh sebab itulah saya memilih ikan bakar sebagai kuliner yang paling merepresentasikan Nusantara.
Ikan Bakar Nusantara
Kenapa harus ikan bakar? Kenapa bukan ikan goreng saja?
Karena cara mengolah bahan makanan yang pertama kali diterapkan manusia setelah berhasil menyalakan api adalah membakar. Menggoreng sendiri baru dipopulerkan oleh peradaban Mesir kuno sejak tahun 2500 sebelum Masehi.
Alasan itu menjadi kausa pertama mengapa saya menempatkan ikan bakar sebagai kuliner khas Nusantara. Bukan ikan goreng, bukan pula steam ikan.
Alasan kedua, nasionalitas. Ketika kita menyebut “ikan bakar”, maka kita tidak sedang merujuk pada suatu daerah tertentu saja. Hal ini berbeda dengan rendang, misalnya, yang tentu berasosiasi pada Sumatera Barat atau daerah Melayu.
Ikan bakar dimiliki oleh hampir semua daerah di Indonesia. Bumbunya saja yang berbeda. Di Sumatera, ada ikan bakar bumbu padang, khas Minang, Sumatera Barat. Orang Jawa punya ikan bakar bumbu kecap. Sementara warga Bali mengenal ikan bakar Jimbaran atau ikan bakar bumbu Bali.
Bagaimana dengan Sulawesi? Jangan ditanya. Kawasan Timur Indonesia ini punya beragam jenis ikan bakar. Mulai dari ikan bakar parepe khas Makassar, hingga ikan bakar dabu-dabu atau sambal rica ala Manado dan sekitarnya.
Di Tanah Kalimantan, penduduk setempat menasbihkan ikan patin bakar sebagai sajian andalan. Sementara di Tanah Papua, salah satu pusat kulinernya bernama ikan bakar Manokwari. Lengkap, kan?
Dengan kata lain, sajian ikan bakar adalah milik kita semua. Milik seluruh warga Indonesia. Kekayaan resep olahan dari berbagai daerah di Nusantara itulah yang menjadi alasan kedua saya mengunggulkan ikan bakar sebagai kuliner yang paling merepresentasikan Nusantara.
Indonesia dalam Sepiring Ikan Bakar
Alasan ketiga, kita bisa menemukan jati diri Indonesia pada sepiring ikan bakar. Misalnya saja, dari yang paling sederhana, ikan bakar bumbu kecap. Menu santap siang saya ketika memperpanjang libur Lebaran.
Dalam sepiring ikan bakar bumbu kecap, ada beragam bahan dasar. Yang paling utama, tentu ikannya. Mayoritas jenis ikan yang ada di Indonesia cocok untuk dibakar. Sebut saja kerapu, bawal, baronang, gurami, kakap, kuwe, ekor kuning, dan sebagainya.
Di luar bahan utama, ada kekayaan bumbu-bumbuan dan rempah yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Cabai, misalnya, mayoritas berasal dari tanah Sumatera, Jawa, dan Bali.
Selain cabai, ada pula bawang merah. Seperempat produksi bawang merah nasional terletak di Jawa Tengah. Sisanya berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Barat.
Berikutnya ada jeruk nipis yang sentra produksinya terletak di Jawa Timur. Belum lagi ada lada dari Bangka Belitung, serta garam dan gula yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Dari sekian banyak bahan dasar ikan bakar, mungkin hanya kecap yang kedelainya diimpor dari Amerika Serikat. Tapi jangan buru-buru rendah diri. Sebab Indonesia dinobatkan sebagai salah satu produsen kecap terbaik di dunia!
Dengan ketiga alasan itu, rasanya sangat pas kalau kita tempatkan ikan bakar sebagai sajian khas Nusantara. Kuliner yang paling merepresentasikan jati diri dan identitas asli warga Indonesia.
Menyantap Ikan Bakar Saat Libur Lebaran
Baru-baru ini Presiden Republik Indonesia mengimbau agar jangan cepat-cepat kembali bekerja supaya memecah konsentrasi arus balik. Saya pun mematuhinya. Saya memperpanjang masa libur Lebaran hingga 1 Mei 2023 nanti.
Berwisata ke daerah Lembang, Jawa Barat, di tengah perjalanan kami melewati restoran bahari. Karena sudah pukul dua lewat, dan kami belum makan siang, kemudi mobil langsung saya arahkan ke restoran itu.
Di sana kami memesan sepiring gurami bakar bumbu kecap. Satu porsi untuk berdua. Untuk saya dan istri. Ukuran ikannya memang cukup besar. Terlalu besar untuk disantap seorang diri. Khawatir lewah atau mubazir kalau sampai tidak habis.
Ikan bakarnya terasa segar dan manis. Meskipun tidak sesegar ketika menyantap ikan bakar di Kawasan Timur Indonesia. Pas, lah.
Tapi jangan salah. Bumbu kecapnya yang paling juara. Lengkap dengan irisan cabai rawit dan bawang merah. Sebagai penyuka kuliner pedas, yang satu ini memang tidak boleh terlewat. Sekali cabai rawit kena gigit, langsung huh-hah kepedesan.
Perpaduan rasa manis dan pedas terasa begitu sempurna. Manisnya dari ikan dan kecap, sementara rasa pedas datang dari cabai rawit. Lengkap dengan nasi putih hangat sebagai asupan karbohidrat.
Kelar menyantap ikan bakar, saya merenung. Di daerah dataran tinggi seperti Lembang saja ada yang jual ikan bakar. Enak, pula! Dengan kata lain, tidak harus berada di pantai untuk bisa menikmati sajian ikan bakar.
Di mana pun kita berada, kita bisa berjumpa kedai ikan bakar dengan mudah. Dan itulah alasan keempat saya memposisikan ikan bakar sebagai khazanah kuliner yang paling mencitrakan Nusantara.
Setuju dengan pendapat saya? Bagikan di kolom komentar, ya! [Adhi]