Metafora Lailatul Qadar
Jika alam bawah sadar masih dalam ranah nafsn (psikologis), sehingga misalnya seorang psikoanalis masih bisa menggali dan menemukan, maka sesuatu yang sudah menetap di dunia spiritual atau lubb-un tidak bisa lagi digali, melainkan keberadaannya. sangat nyata dalam hidup kita.
Itulah sebabnya kita rindu kepada Allah swt dan ingin pulang kepada-Nya. Kembalinya kepada Tuhan kemudian dimulai dengan kembali ke bumi. Oleh karena itu, ketika Utusan Tuhan, Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian, menguburkan seseorang, menguburkan seseorang, katanya, Allah berfirman: "Dari tanah Kami ciptakan engkau, kepada tanah Kami kembalikan engkau dan dari tanah pula nanti Kami akan keluarkan engkau pada waktu lain (hari kiamat)" (HR Ahmad).
Maka apa yang dialami Nabi itu merupakan simbol bahwa kita juga akan kembali ke bumi, juga ke air. Apalagi jika kita mempercayai ilmu kedokteran yang mengklaim bahwa 80 persen unsur dalam diri kita adalah cairan. Setidaknya fakta ini menyadarkan kita bahwa kita akan menjadi air dan kembali kepada Allah. Hanya orang yang bisa kembali kepada Allah sajalah yang akan merasakan kebahagiaan atau sakinah. Dalam bahasa sehari-hari, kata sakinah berarti tujuan hidup berkeluarga. Karena sesungguhnya Allah berfirman: "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir" (Q 30:21).
Mawaddah wa rahmah adalah cinta dengan derajat cinta yang sangat tinggi dan lebih tinggi dari cinta fisik, yang dalam bahasa arab disebut mahabbah atau lebih tepatnya hubb al-syahawat. Sebagaimana Allah berfirman: "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)" (Q3:14). Nafsu adalah hal yang sangat bawaan yang sangat wajar karena tidak harus diperangi, bahkan bisa disalurkan melalui pernikahan, menurut agama kita. Namun, jika kita berhenti pada cinta fisik semata, kita lebih rendah dari binatang. Hubbu l-shawt adalah perintah yang diberikan oleh Allah agar kita bisa bertahan hidup di bumi ini dengan keturunan.
Untuk mencapai kebahagiaan yang disebut sakina, prasyaratnya adalah mawadda atau cinta dalam tataran psikologis, yaitu cinta kita kepada sesama manusia. Ini disebut philosis, cinta kebijaksanaan dalam istilah filosofis. Hubb-u-l-nafsu adalah erros, atau cinta erotis fisik, yang oleh psikolog Freud disebut libido.
Libido ini tidak memberi kita kebahagiaan karena hanya menempatkan kita sejajar dengan hewan. Namun, jika kita ingin bahagia, kita harus bangkit dari dasar kemanusiaan menuju philos (mawaddah), atau cinta sesama. Dan itu belum cukup, karena kita juga harus berusaha untuk mencapai cinta ilahi atau yang disebut rahma. Karena rahmat adalah sifat Allah yang paling sering disebutkan dalam Al-Qur'an.
Belas kasihan tidak dapat dibayangkan dan dijelaskan seperti dalam hal mendapatkan rahmat, yaitu. Sakinah, dan di tempat lain disebut qurrat-u 'ayn, seperti dalam doa: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa"(Q25:74).
Qurrat-ua'yun ini juga merupakan istilah yang sangat sulit diterjemahkan. Tapi setidaknya itu berarti hakikat kebahagiaan karena disebutkan dalam Al-Qur'an sebagai kebahagiaan tertinggi saat kita masuk surga. Karena tidak ada yang kita cari di surga kecuali Qurratu Ayu, yang bisa kita alami di dunia melalui sakinah dan kehidupan keluarga yang sejati. Dalam Surat al-Sajdah disebutkan: "Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan" (Q32:17).
Tidak ada yang tahu. Itu adalah surga. Tidak ada yang tahu surga. Berdasarkan ini ada hadits kudsi: "Aku siapkan untuk hamba-hamba-Kuyang saleh sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata dan tidak pernah terdengar oleh telinga serta tidak pernah terbetik dalam hati manusia."
Lebih lanjut, Nabi bersabda: "Dan kalau kamu mau (kata Nabi), bacalah (ayat Qur'an itu), tidak seorang pun mengetahui esensi kebahagiaan yang dirahasiakan baginya sebagai balasan untuk amal perbuatan baiknya."
Inilah yang harus kita perhatikan dalam fase ruhani puasa ini, yang kita alami melalui simbolisme Lailatul Qadar. Tapi semuanya harus dimulai dengan tanah dan air. Dengan kata lain, kesadaran akan diri kita yang sebenarnya. Karena dengan kerendahan hati kita mencapai keikhlasan dalam artian kita tidak hanya melihat diri kita sebagai orang yang selalu berbuat baik, tetapi karena perbuatan baik itu dibimbing oleh Allah swt.