Pendi Susanto
Pendi Susanto Penulis

Penulis Buku, Pegiat Pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Metafora Lailatul Qadar

15 April 2023   07:02 Diperbarui: 15 April 2023   07:05 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Metafora Lailatul Qadar
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Kita sudah memasuki sepuluh hari ketiga di bulan Ramadhan ini. Menurut para ulama, puasa di bulan Ramadhan dibagi menjadi tiga tahapan yang mengikuti pembagian hari kesepuluh. Sepuluh hari pertama adalah fase fisik. Kita masih sibuk secara fisik menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru terkait makan, minum, dll. Shiyam pengendalian diri ini diwujudkan dalam perbuatan lahiriah, yang menjadi cabang ilmu fikih yang membahas tentang sah atau tidaknya puasa. Tingkat kedua disebut tingkat nafsani (psikologis). 

Jika pada tingkat pertama adalah sifat keragaan, maka di sini pengendalian diri Shiyam telah mencapai sesuatu yang mirip dengan nafsani, mengendalikan nafsu. Secara fiqh memang tidak membatalkan puasa, misalnya ketika kita marah-marah atau membicarakan kejelekan orang lain. Tetapi dalam puasa, batinnya perbuatan itu bisa membatalkan puasa. Di sini, kita diingatkan oleh Rasulullah Muhammad saw dengan sabda beliau: "Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, barang siapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan kotor dan (tak bisa meninggalkan) perbuatan kotor maka Allah tidak punya kepentingan apa-apa meski orang itu meninggalkan makan dan minum"(HR. Bukhari).

Bersamaan dengan puasa lahiriah, puasa tetap sah selama melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Tetapi orang yang berpuasa dengan nafsan tidak mencapai kebijaksanaan. Sahabat Umer juga mengingat ini: "Banyak sekali orang puasa namun tidak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar."

Kemudian dalam sepuluh hari ketiga, kita harus meningkatkannya pada tingkat spiritual. Di ranah ini kami menjumpai sesuatu yang sangat sulit dijelaskan karena memang tidak ada pengetahuan tentang hal-hal rohani. Kita hanya mengetahuinya dari berita atau yang disebut naba'un dalam bahasa arab. Dan utusan itu adalah nabi. Dari Nabi kita tahu apa yang bisa kita dapatkan dari puasa tingkat ketiga ini karena tidak bisa dijelaskan. Oleh karena itu kemudian diungkapkan melalui simbol dan metafora termasuk pertanyaan Lailatul Qadar. Itu sebenarnya adalah simbol pencapaian atau pencapaian spiritual yang tidak dapat dijelaskan. 

Suatu ketika Rasulullah menyuruh umatnya berkumpul di mesjid untuk menunggu Lailatul Qadar karena Nabi tidak pernah menjelaskan apa maksud dari Lailatul Qadar dan kapan terjadinya, beliau hanya berkata : "Apa yang kamu tunggu-tunggu insya Allah malam ini datang, karena aku telah melihat dalam visi (ru'yah) bahwa akan ada hujan lebat kemudian aku belepotan lumpur dan basah kuyup oleh air." Kemudian orang-orang yang berkumpul bubar. Malam itu hujan turun dengan deras. Karena pembangunan masjid di Madinah pada Zaman Nabi sangat sederhana, atapnya terbuat dari daun kurma, air hujan otomatis masuk ke lantai masjid yang terbuat dari tanah.

Orang-orang yang hadir pada saat acara melihat apa yang dikatakan Nabi. Karena dia berdoa basah. Saat wajah dan seluruh tubuhnya tertutup tanah liat. Lalu apa yang Nabi maksud dengan Lailatul Qadar? Karena Nabi berkata: "Inilah yang kamu tunggu-tunggu." 

Sekali lagi, karena masalah ini benar-benar masalah spiritual, tidak cukup kata-kata untuk menjelaskannya. Ini adalah simbol atau simbol. Kemudian ada masalah penafsiran atau takwil (semiotika). Kenyataan bahwasannya Nabi diselimuti lumpur dan kebasahan Nabi dengan air sebenarnya merupakan peringatan bagi kita bahwa tingkat pengalaman spiritual tertinggi adalah ketika kita telah kembali ke jiwa kita. dari mana kita Dari tanah dan air, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an: "Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani)" (Q. 32: 7-8). Dalam surat Yasin juga diingatkan: "Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakan dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang nyata" (Q 36.77).

Jadi ketika Nabi berlumuran lumpur dan terendam air, sebenarnya simbol bahwa kita harus menemukan kembali siapa diri kita. Oleh karena itu, sesuai dengan makna yang diturunkan atau disimpulkan dari Firman Tuhan dalam Yasin di atas, kita harus menjadi orang yang rendah hati. Oleh karena itu, dalam Al-Qur'an, ciri pertama hamba Allah Yang Maha Penyayang adalah: "Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Perryayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik" (QS. 25:63).

Sikap rendah hati mendatangkan banyak kebaikan, bahkan hampir semua kebaikan terlihat. Sebaliknya, musuh kerendahan hati adalah kesombongan, yang dengan tegas menutup gerbang surga dan tidak bisa masuk. "Tidak akan masuk surga orang yang ada di dalam hatinya ada seberat atom dari perasaan sombong" (HR Muslim).

Kesombongan adalah dosa pertama ciptaan terhadap Tuhan, ketika iblis menolak untuk mengakui keunggulan Adam. Maka Allah mengkondisikan sikap setan dalam firman-Nya: "Dia ingkar dan dia menjadi sombong, (dengan begitu) maka dia termasuk mereka yang kafir "(Q2:34).

Saat kita sadar diri, atau percaya diri dengan bahasa yang kita gunakan setiap hari, kita menjadi sangat bahagia. Dan karena sangat beruntung, sulit untuk dijelaskan. Ada kata-kata seperti thuma'ninah, sakinah dan qurratu a'yun di dalam Al-Qur'an.

Misalnya, kata tuma'ninah terdapat dalam firman Allah swt yang menjelaskan bahwa jika manusia mengingat Allah, maka hatinya akan tenteram. "Ketahuilah bahwa dengan ingat kepada Allah, maka hati akan mengalami tuma'ninah (ketenangan)" (Q13:28).

Ketenangan disebut juga Sakinah karena orang tersebut dapat kembali kepada Allah swt. Ada kata-kata Arab yang disebut ruj' atau inabah yang sering digunakan dalam Al quran. Salah satunya adalah peribahasa suci: Inn li l-Lahi wa Inna ilayhi Raji un kita semua berasal dari Allah dan kepada-Nya kita akan kembali.

Dengan demikian, keberhasilan untuk pulang itu adalah suatu persyaratan mencapai kebahagiaan. Sebaliknya kalau orang tidak berhasil pulang ke asal, yang dalam bahasa keseharian kita disebut dengan sesat, maka itu adalah pangkal kesengsaraan. Pulang kemana? Pulang kepada Allah swt. "Kembalilah kamu semuanya kepada Tuhanmu, dan pasrahlah kepada-Nya" (Q35:54).

Datanglah kepada Tuhan tanpa masalah. Misalnya, di hari kiamat dijelaskan bahwa sampai saat itu harta dan anak tidak berguna lagi. "Pada saat itu harta dan anak tidak ada manfaatnya apa-apa, kecuali mereka yang datang kepada Allah dengan hati yang utuh (integral)" (Q26:88-89).

Yang dimaksud dengan utuh adalah yang tidak ada persoalan dengan Tuhan (salim). Maka salamah itu pun adalah juga ketenteraman sehingga agama ini pun disebut dengan sebutan Islam. Ini bukan hanya karena kita diajarkan untuk berserah diri kepada Allah, tetapi juga untuk menerima salam. Salamjuga berarti aman. Maka orang yang beriman kepada Allah atau beriman kepada Allah akan selamat.

Semua itu membutuhkan kesadaran untuk kembali kepada Allah SWT. Maka kamu harus mengenal dirimu sendiri dan kembali ke asalmu juga kembali kepada Allah, sesuai dengan firman Allah: "Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik "(Q59:19).

Lupa diri adalah lawan dari kesadaran diri. Diri yang terlupakan adalah hasil dari orang yang tidak memahami asal usul hidupnya dan arah hidupnya. Diri yang terlupakan adalah orang yang bingung atau tertipu. Apalagi jika ini kita gabungkan dalam bahasa kita dengan ungkapan "lupa daratan", ungkapan yang mengacu pada orang yang melaut, tetapi ketika sampai di pelabuhan mereka tetap bersikap seolah-olah sedang di laut, lupa bahwa mereka sudah ada. di tepi laut Saya Oleh karena itu kembali kepada Allah ini adalah kondisi kebahagiaan. Itulah yang disebut kesalehan. Semangat kembali kepada Tuhan juga harus dibawa dalam situasi sehari-hari, seperti kematian, yang kini semakin sulit diprediksi. 

Saat ini, banyak kematian yang disebabkan oleh penyakit yang disebabkan oleh kekayaan, seperti penyakit jantung. Begitu banyak orang meninggal dalam situasi tak terduga seperti memberikan pidato atau bermain bulu tangkis. Berikut ini disebutkan dalam Al-Qur'an: "Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya."(al-Zumar: 55)

Maka untuk mengatasi masalah ini seseorang harus kembali kepada Allah swt. Jadi yang Nabi maksud dengan simbolisme menutupi dengan lumpur dan memercikkan air adalah bahwa kita harus kembali ke asal kita. Lalu timbul pertanyaan, mengapa kita memiliki keinginan untuk kembali ke asal kita? Seperti yang ditunjukkan dalam khotbah sebelumnya, motivasi ini ada karena kita sebenarnya diwajibkan oleh perjanjian awal dengan Allah SWT untuk mengakui bahwa Dia (Allah) adalah Rabb-un, Lord atau Tuhan. "Bukankah Aku ini Tuanmu? Ya, kami bersaksi" (Q7:172).

Kata tuan atau penguasa berarti hakikat atau wujud, yang dalam hal ini adalah Allah swt, tempat kita bersandar untuk hidup kita. Jadi jika kita menerima Allah sebagai Rabbi, maka kita harus menyembah Dia. Saat kita berada di dunia spiritual, di dalam perjanjian, kita menjawab: "Ya, kami bersaksi."

Ini berada dalam diri kita yang terdalam yang disebut lubb-un, yang merupakan bentuk jamak dari albab. Oleh karena itu kata l l-albab dapat diterjemahkan sebagai orang yang memiliki kesadaran yang dalam; kesadaran diri yang menembus atau menetap di Lubb. Kita jauh lebih dalam dari apa yang secara psikologis disebut alam bawah sadar.

Jika alam bawah sadar masih dalam ranah nafsn (psikologis), sehingga misalnya seorang psikoanalis masih bisa menggali dan menemukan, maka sesuatu yang sudah menetap di dunia spiritual atau lubb-un tidak bisa lagi digali, melainkan keberadaannya. sangat nyata dalam hidup kita.

Itulah sebabnya kita rindu kepada Allah swt dan ingin pulang kepada-Nya. Kembalinya kepada Tuhan kemudian dimulai dengan kembali ke bumi. Oleh karena itu, ketika Utusan Tuhan, Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian, menguburkan seseorang, menguburkan seseorang, katanya, Allah berfirman: "Dari tanah Kami ciptakan engkau, kepada tanah Kami kembalikan engkau dan dari tanah pula nanti Kami akan keluarkan engkau pada waktu lain (hari kiamat)" (HR Ahmad).

Maka apa yang dialami Nabi itu merupakan simbol bahwa kita juga akan kembali ke bumi, juga ke air. Apalagi jika kita mempercayai ilmu kedokteran yang mengklaim bahwa 80 persen unsur dalam diri kita adalah cairan. Setidaknya fakta ini menyadarkan kita bahwa kita akan menjadi air dan kembali kepada Allah. Hanya orang yang bisa kembali kepada Allah sajalah yang akan merasakan kebahagiaan atau sakinah. Dalam bahasa sehari-hari, kata sakinah berarti tujuan hidup berkeluarga. Karena sesungguhnya Allah berfirman: "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir" (Q 30:21).

Mawaddah wa rahmah adalah cinta dengan derajat cinta yang sangat tinggi dan lebih tinggi dari cinta fisik, yang dalam bahasa arab disebut mahabbah atau lebih tepatnya hubb al-syahawat. Sebagaimana Allah berfirman: "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)" (Q3:14). Nafsu adalah hal yang sangat bawaan yang sangat wajar karena tidak harus diperangi, bahkan bisa disalurkan melalui pernikahan, menurut agama kita. Namun, jika kita berhenti pada cinta fisik semata, kita lebih rendah dari binatang. Hubbu l-shawt adalah perintah yang diberikan oleh Allah agar kita bisa bertahan hidup di bumi ini dengan keturunan.

Untuk mencapai kebahagiaan yang disebut sakina, prasyaratnya adalah mawadda atau cinta dalam tataran psikologis, yaitu cinta kita kepada sesama manusia. Ini disebut philosis, cinta kebijaksanaan dalam istilah filosofis. Hubb-u-l-nafsu adalah erros, atau cinta erotis fisik, yang oleh psikolog Freud disebut libido.

Libido ini tidak memberi kita kebahagiaan karena hanya menempatkan kita sejajar dengan hewan. Namun, jika kita ingin bahagia, kita harus bangkit dari dasar kemanusiaan menuju philos (mawaddah), atau cinta sesama. Dan itu belum cukup, karena kita juga harus berusaha untuk mencapai cinta ilahi atau yang disebut rahma. Karena rahmat adalah sifat Allah yang paling sering disebutkan dalam Al-Qur'an.

Belas kasihan tidak dapat dibayangkan dan dijelaskan seperti dalam hal mendapatkan rahmat, yaitu. Sakinah, dan di tempat lain disebut qurrat-u 'ayn, seperti dalam doa: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa"(Q25:74).  

Qurrat-ua'yun ini juga merupakan istilah yang sangat sulit diterjemahkan. Tapi setidaknya itu berarti hakikat kebahagiaan karena disebutkan dalam Al-Qur'an sebagai kebahagiaan tertinggi saat kita masuk surga. Karena tidak ada yang kita cari di surga kecuali Qurratu Ayu, yang bisa kita alami di dunia melalui sakinah dan kehidupan keluarga yang sejati. Dalam Surat al-Sajdah disebutkan: "Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan" (Q32:17).

Tidak ada yang tahu. Itu adalah surga. Tidak ada yang tahu surga. Berdasarkan ini ada hadits kudsi: "Aku siapkan untuk hamba-hamba-Kuyang saleh sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata dan tidak pernah terdengar oleh telinga serta tidak pernah terbetik dalam hati manusia."

Lebih lanjut, Nabi bersabda: "Dan kalau kamu mau (kata Nabi), bacalah (ayat Qur'an itu), tidak seorang pun mengetahui esensi kebahagiaan yang dirahasiakan baginya sebagai balasan untuk amal perbuatan baiknya." 

Inilah yang harus kita perhatikan dalam fase ruhani puasa ini, yang kita alami melalui simbolisme Lailatul Qadar. Tapi semuanya harus dimulai dengan tanah dan air. Dengan kata lain, kesadaran akan diri kita yang sebenarnya. Karena dengan kerendahan hati kita mencapai keikhlasan dalam artian kita tidak hanya melihat diri kita sebagai orang yang selalu berbuat baik, tetapi karena perbuatan baik itu dibimbing oleh Allah swt.

Seseorang yang telah mencapai tingkatan seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an adalah mereka yang bersedekah dan memberinya nikmat dari Tuhan, tetapi hatinya masih malu untuk menghadap Tuhan. "Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka" (Q23:60).

Aisyah, isteri Nabi, pernah merasa heran dengan ayat ini, lalu bertanya kepada Nabi, "Hai Nabi, ayat itu aneh. Orang itu beriman, bahkan rajin bersedekah, tapi kenapa ia malu bertemu dengan Tuhan, bagaimana maksudnya, apakah dia selain bersedekah juga berbuat jahat seperti mencuri, berzina dan sebagainya?" Nabi kemudian menjawab, "Tidak, Aisyah. Orang itu betul-betul baik, saleh, dan benar-benar ikhlas, tetapi justru karena keikhlasannya maka dia tetap malu kepada Allah, dan tidak melihat dirinya itu pernah berbuat baik."

 Apabila kita telah mencapai fase itu, melalui puasa kita, melalui latihan selama tiga puluh hari, maka kebahagiaan akan menyebar ke seluruh masyarakat dan mampu mencapai semua cita-cita yang diletakkan oleh agama kita sebagai rahmat-an li l-'lamn (rahmat bagi seluruh alam).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun