Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Guru

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

Korelasi Mudik Lebaran dan Peristiwa Fathu Mekkah

8 April 2024   13:44 Diperbarui: 9 April 2024   07:40 1837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Korelasi Mudik Lebaran dan Peristiwa Fathu Mekkah
Ilustrasi mudik lebaran (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA via Kompas.com)

Sewaktu kecil, ayah saya sering berpindah mutasi tempat kerja, imbasnya hampir setiap setahun atau dua tahun sekali kami sekeluarga melakukan perjalanan mudik saat menjelang lebaran mengunjungi sanak saudara.

Hampir semua moda transportasi pernah kami gunakan dalam perjalanan mudik, mulai dari kendaraan pribadi, kereta api, pesawat terbang, bus malam hingga kapal penumpang Pelni.

Sungguh suatu pengalaman yang tak terlupakan di waktu kecil, karena semua perjalanan tersebut benar-benar penuh perjuangan dan hal-hal tak terduga. Pengalaman seperti kecopetan, mabuk kendaraan, bertemu orang baik hati, hingga menikmati pemandangan alam negeri ini di pelosok-pelosok yang tak terjamah.

Perjalanan mudik saat jelang lebaran berbeda dengan perjalanan lainnya, dikarenakan dilakukan secara massal serta bersamaan waktunya, sehingga bisa dibayangkan bagaimana chaosnya pulau Jawa yang sempit dijejali jutaan kendaraan dari berbagai daerah. Sehingga membuat perjalanan mudik lebaran serasa penuh drama perjuangan di setiap etapenya.

Namun di balik itu, perjalanan mudik pada saat bulan Ramadan sebenarnya memiliki banyak nilai-nilai kebaikan yang bisa ambil maknanya. Dimana hal tersebut bisa kita jadikan pegangan dengan mengkaitkannya pada peristiwa Fathu Mekkah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW pada tahun 8 Hijriyah.

Perlu pembaca ketahui, bahwa Nabi Muhammad SAW juga pernah melakukan perjalanan mudik menuju kampung halamannya yaitu Mekkah saat bulan Ramadan.

Sebenarnya bukan murni perjalanan mudik, tetapi lebih seperti operasi militer dalam menaklukkan kota Mekkah yang dikuasai bani Quraisy, namun karena di tahun 8 Hijriyah Posisi Quraisy mulai melemah, maka penaklukan tersebut berjalan damai tanpa pertumpahan darah, dan umat Islam berhasil menguasai kota Mekkah.

Ilustrasi Kaum Muslimin 'mudik' pada peristiwa Fathu Mekkah (sumber : okezone muslim)
Ilustrasi Kaum Muslimin 'mudik' pada peristiwa Fathu Mekkah (sumber : okezone muslim)

Peristiwa tersebut dikenal dengan nama Fathu Mekkah atau Penaklukan/Pembukaan Mekkah, dan yang cukup menarik peristiwa itu terjadi pada saat bulan Ramadan, sehingga seolah-olah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari kota domisilinya yaitu Madinah menuju kota kelahirannya yaitu Mekkah serasa seperti perjalanan mudik yang kita lakukan di jaman sekarang.

Peristiwa ini bermula dari dilanggarnya perjanjian gencatan senjata Hudaibiyah yang sudah berlangsung 10 tahun oleh pihak beberapa oknum Bani Quraisy yang menyerang kafilah karavan umat Muslim, sehingga membuat umat Islam di kota Madinah merasa perlu untuk menaklukkan kota Mekkah secara penuh, apalagi sebenarnya pada saat itu posisi militer Bani Quraisy sudah sangat lemah, seiring mulai menguatnya kekuatan militer umat Islam.

Hingga akhirnya Nabi Muhammad SAW bersama 10.000 umat muslim melakukan perjalanan pada tanggal 10 Ramadan 8 H atau tahun 630 M dari Madinah menuju Mekkah untuk melakukan penaklukan.

Dalam peristiwa tersebut tidak terjadi pertumpahan darah, karena saat itu pihak Bani Quraisy sudah sangat inferior dengan kekuatan umat muslim dan benar-benar menyerah tanpa syarat, bahkan berbondong-bondong menyatakan untuk masuk Islam.

Hal yang membuat menarik adalah peristiwa ini terjadi pada saat bulan Ramadan, dan Nabi Muhammad SAW saat itu pun sudah cukup lama tidak mengunjungi kampung halamannya di Mekkah. Sehingga peristiwa ini ini justru lebih seperti perjalanan mudik bagi Rasulullah SAW ketimbang operasi militer, terlebih lagi terjadi dalam proses damai.

Ada beberapa hal yang bisa ambil nilai-nilai dari peristiwa Fathu Mekkah dengan dikorelasikan pada perjalanan mudik lebaran kita. Dimana nilai-nilai tersebut bisa kita gunakan agar perjalanan mudik terasa indah dan damai, lalu apa saja poinnya, berikut penjelasannya.

Direncanakan Dengan Matang

Pada saat perjalanan Fathu Mekkah, Nabi Muhammad membagi 10.000 ribu kaum muslimin menjadi 4 rombongan ketika hendak mendekati kota Mekkah. Hal ini dilakukan karena kondisi topografi kota Mekkah yang berbentuk lembah sempit yang didominasi perbukitan dan pegunungan batu terjal, sehingga agar tidak terlalu berdesakan untuk memasukinya, perlu membagi jalur rombongannya.

Hal ini tentunya hampir mirip dengan kondisi mudik lebaran di jaman sekarang, dimana perjalanan mudik merupakan sesuatu yang harus direncanakan dengan matang.

Hal tersebut dikarenakan dilakukan secara massal, bersamaan waktunya serta jalur perjalanan yang terbatas, sehingga diperlukan pengelolaan rekayasa lalu lintas yang sangat matang, sehingga tidak menimbulkan kemacetan serta kondisi chaos di jalan.

Selama bertahun-tahun, pemerintah, pihak swasta dan stakeholder terkait bahu membahu membantu kelancaran mudik massal lebaran, baik lewat rekayasa lalu lintas, program mudik gratis, penambahan jalur dan lainnya, dimana kesemuanya bertujuan untuk agar supaya perjalanan mudik berjalan dengan teratur dan meminimalisir tingkat kecelakaan lalu lintas.

Nilai Kesabaran

Peristiwa Fathu Mekkah terjadi pada saat bulan Ramadan, jadi bisa kita bayangkan betapa kesabaran para kaum muslimin pada saat itu melakukan perjalanan massal di padang gurun dalam keadaan berpuasa. Namun itu semua terbayar dengan keberhasilan dimana kota Mekkah sudah bisa dimasuki kembali oleh kaum muslimin.

Begitu pula dengan kita di jaman sekarang melakukan perjalanan mudik yang juga dalam keadaan berpuasa. Memang ada kelonggaran bagi para musafir untuk membatalkan puasa, tetapi banyak diantara kita yang tetap menjalankan ibadah puasa walau sedang melakukan perjalanan jarak jauh, mengingat moda transportasi di jaman sekarang yang sudah cukup nyaman.

Tentunya di dalam perjalanan mudik, terkadang kita menjumpai sesuatu yang menguji kesabaran kita, entah itu kemacetan, mobil mogok, atau hal-hal tak terduga lainnya, namun semua itu tak menjadi masalah, karena memang kita menyadari perjalanan mudik jarak jauh memang penuh risiko dan kendala, dan senjata semua itu adalah kesabaran.

Saling Memaafkan

Ketika rombongan kaum muslimin mulai memasuki kota Mekkah pada saat peristiwa Fathu Mekkah, banyak kaum bani Quraisy yang ketakutan berdiam diri di dalam rumah, mereka khawatir nyawa mereka terancam, karena mengira kaum muslimin akan membalas dendam perlakuan persekusi kaum bani Quraisy di masa lalu yang keji menyiksa pengikut Nabi Muhammad SAW.

Namun apa yang terjadi, Nabi Muhammad SAW justru memerintahkan kepada kaum Anshar dan Muhajirin untuk merangkul persaudaraan dengan kaum Quraisy dan saling memaafkan diantara mereka. Walhasil hal tersebut membuat bani Quraisy terkesima dan berbondong-bondong menyatakan diri untuk masuk Islam.

Jika kita memaknai peristiwa Fathu Mekkah, maka bisa kita korelasikan dengan jaman sekarang yaitu ketika kita pulang kampung, maka hal pertama kali yang harus kita lakukan adalah saling memaafkan dengan sanak saudara, jika dalam istilah Jawa hal itu dinamakan 'ngumpulke balung pisah', artinya momentum Ramadan dan Lebaran adalah saat-saat dimana kita merajut kembali tali persaudaraan yang telah terpisah ruang dan waktu dengan saling memaafkan.

Peduli Kampung Halaman

Ketika kaum muslimin dan bani Quraisy telah menjadi saudara kembali dalam peristiwa Fathu Mekkah, Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk menata ulang kembali kota Mekkah, salah satunya adalah membersihkan patung-patung berhala sesembahan di sekitar Kakbah. Semua pihak bahu membahu merestorasi kembali masjidil haram dan kota Mekkah, sehingga menjadi lebih tertata.

Hal ini juga harus kita lakukan di jaman sekarang, ada istilah 'Mbali Ndeso, Mbangun Ndeso', yang artinya ketika kita kembali ke tempat asal, paling tidak kita juga harus peduli keadaan kampung halaman kita. Jangan sampai niat kita mudik ke kampung halaman, seolah hendak ingin pamer kekayaan yang kita miliki di tempat perantauan.

Jika kita memiliki kelebihan rejeki, sungguh alangkah baiknya agar juga bisa berkontribusi pembangunan di kampung halaman kita, mungkin banyak diantara kita yang berasal dari dari desa pelosok, maka pada kesempatan pulang kampung, kita juga bisa bersedekah membantu kondisi lingkungan desa kita, entah itu perbaikan jalan atau perbaikan fasilitas umum lainnya, sehingga makna merantau bisa terasa manfaatnya bagi kampung halaman.

Gambaran mudik pada peristiwa Fathu Mekkah memang terasa sangat mirip dengan kondisi mudik lebaran di jaman sekarang, semoga perjalanan yang bermakna ini berjalan dengan lancar serta mempererat tali silaturahmi sanak saudara di kampung halaman. Semoga Bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun