1445 H (12) Membenarkan yang Salah, Membaikkan yang Buruk
Bersikap dan berbuat membenarkan yang salah, membaikkan yang buruk, terkadang pelakunya justru yang tahu, paham, kompeten dalam teori dan praktik agama serta pendidikan.
(Supartono JW.22032024)
Sebagai rakyat jelata, di tengah ibadah Ramadan 1445 Hijriah, di fase ampunan, perasaan senang dan sedih saya rasakan saat KPU mengumumkan hasil Pemilu 2024, Rabu malam (20/3/2024).
Senang, karena dari semua rangkain proses sampai hasil Pemilu diumumkan, saya sebut sesuai Program. Namun sedih, karena secara logika, akal sehat, di negeri ini sedang terjadi degradasi etika dan moral yang luar biasa fatal.
Lebih fatal karena siapa yang menjadi pemicunya, adalah pribadi-pribadi yang perjalanan hidupnya seperti tidak pernah mengenal ajaran agama, pendidikan di sekolah, kuliah, kehidupan masyarakat, kehidupan berbangsa bernegara yang benar dan baik.
Drama Pemilu pun, bila sejak awal saya diminta membuat tema/judul, sesuai keadaan yang sudah terjadi, saya buat: "Membenarkan yang Salah, Membaikkan yang Buruk".
Pendidikan kita
Sebagai cerminan, mengapa kondisi terkini Indonesia seperti sekarang ini, penuh dengan kejadian buruk yang dianggap baik, dan salah yang dibenarkan, lihatlah contoh ilustrasi salah satu yang menjadi penyumbang benang kusutnya. Kisahnya, nyata:
Saat saya mengikuti Seminar Pendidikan di Jakarta, sebut saja, puluhan tahun yang lalu. Masih ada dalam catatan dan ingatan saya. Salah satu nara sumber yang diundang, menyampaikan materi tentang hal yang baik, tetapi dianggap buruk dan yang salah dianggap benar.
Nara sumber ini, saya sebut saja A, adalah seorang penguasa sukses. Memiliki beberapa perusahaan yang tersebar di nusantara. Memiliki dua anak. Tinggal di Jakarta. Salah satu budaya dan prinsip dalam hubungan keluarga dengan istri dan anaknya, menjadikan meja makan adalah quality time-nya, untuk membangun kebersamaan keluarga. Sesibuk apa pun, meja makan khususnya sarapan pagi dan makan malam, menjadi prioritas, dia, istri dan dua anaknya harus makan bersama.
Dalam suasana makan itulah, A menggunakan momentum untuk menyelidik semua hal, demi kebersamaan selalu terjalin. Pun dapat menilai perkembangan anaknya dalam pendidikan.
Awalnya, dua anaknya sekolah di tempat yang sama saat duduk di bangku SMP. Dan, setiap di meja makan, menyoal kisah pendidikan anaknya, A tidak pernah menemukan hal yang negatif. Kedua anaknya selalu cerita semua kejadian di sekolah, termasuk semua gurunya, baik-baik saja.
Tetapi di balik itu, A heran, mengapa nilai akademik kedua anaknya tidak menonjol alias standar-standar saja. Tidak jauh dari nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah. Hal itu terjadi sampai anak pertamanya lulus SMP.
Suatu hari, saat anak pertamanya sudah menempuh pendidikan di SMA, ternyata, anak kedua yang masih SMP, di meja makan ceritanya tetap sama. Tidak pernah mengeluh tentang keadaan dan kondisi di sekolah termasuk sikap guru-gurunya. Semua gurunya disebutnya, baik.
Tetapi anak pertamanya justru berubah. Di meja makan mulai mengeluh keadaan sekolahnya. Terutama mengeluhkan tentang guru-gurunya yang sudah tidak sebaik saat di SMP. Kalau datang agak terlambat ke kelas langsung dihukum. Bila lupa tidak mengerjakan tugas atau PR, baju tidak dimasukan, kaos kaki, sepatu, dll pasti bila tidak sesuai aturan kena masalah dan dihukum.
"Mengapa adik tidak pernah ada masalah dengan guru di sekolah?" Papa tidak mempersoalkan nilai akademik yang di dapat Adik hanya dekat dengan KKM. Tapi kalau semua gurunya baik, logikanya nilai akademik Adik lebih tinggi dari KKM? Selidik A.
"Guru Adik semua baik Papa. Tidak mengerjakan tugas/PR dll, tidak ada hukuman, kok?" Jelas Adik polos.
Terkait anak kedua ini, A juga melihat sikap dan perilakunya juga tidak bertambah tertib. Meremehkan masalah. Tidak cekatan. Malas. Tidak disiplin, kurang bertanggung jawab, kurang mandiri, tidak kreatif, ada sombongnya, dll. Padahal saat kedua anaknya dulu sama-sama masih SD. Keduanya selalu mengeluh tentang sekolah dan guru-gurunya saat di meja makan.
Tetapi pribadi kedua anaknya berkembang, bertambah baik, disiplin, bertanggung jawab, nilai akademiknya di atas rata-rata. Padahal selalu mengeluh, kesal, sebal, bosan dengan sekolah dan gurunya, dan lainnya.
Kini, setelah masuk SMA, anak pertamanya kembali bersikap seperti saat masih di SD. Tetapi adiknya justru tambah "ngawur" dalam hal sikap, perbuatan (attitude), kurang bertanggung jawab, kurang disiplin, dll
Ternyata sekolah dan guru yang dianggap benar dan baik adalah sekolah dan guru-guru seperti di SMP. Sementara, sekolah dan guru-guru yang tidak benar dan tidak baik itu, sekolah dan guru-guru saat anak-anak sekolah di SD dan SMA.
Atas kondisi itu, A pun dengan bijak memindahkan anak keduanya ke SMP lain. Agar di meja makan, kerjanya kembali mengeluhkan sekolah dan gurunya, tetapi tanpa disadari terbentuk mental dan karakter yang benar dan baik. Menjadi anak tahu menghargai, disiplin, tanggung jawab, peduli, punya empati, tahu diri, berbudi, dan rendah hati.
Menurut A, saat itu, bila mau marah ke SMP bisa saja. Tapi pastinya, akan menguras waktu dan tenaga. Kebetulan yang bermasalah, tempat saya menyekolahkan anak, adalah SMPnya. Bagi orangtua lain, tentu punya pengalaman yang berbeda, bila mengikuti dengan benar perkembangan pendidikan anaknya. Sampai tahu, yang bermasalah itu anaknya? Atau sekolah dan gurunya.
Hingga kini tawuran pelajar/masyarakat masih membudaya. Lalu, bagaimana attitude anak-anak yang masih sekolah dan sudah lulus di kehidupan nyata? Bagaimana dengan yang tidak sekolah. Bagaimana masalah-masalah pendidikan yang lain?
Bila kisah ini saya tulis lengkap sampai solusinya, bentuknya=buku. He he... .
Lemah integritas dan iman?
Mengapa para pemimpin negeri ini, para elite, para orang-orang partai tidak memiliki iman yang kuat? Tidak patut menjadi teladan rakyat karena hanya memikirkan kepentingan dan keuntungan dirinya, keluarganya, kelompoknya, partainya, oligarkinya, cukongnya?
Lihatlah, di dunia pendidikan saja, ada sekolah dan guru yang sudah menggadaikan integritas dan iman. Membiarkan anak-anak tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, tidak berkaraktar, tidak sopan, tidak santun, etika dan moralnya buruk, karena sekolah dan gurunya, takut dibenci anak. Makanya, mencari muka agar tetap dianggap sebagai sekolah dan guru yang baik, dengan membiarkan anak-anak melakukan tindakan dan perbuatan salah.
Yah, zaman itu, mungkin zaman sekarang masih, label guru yang baik itu bagi anak-anak, ya seperti guru-guru di sekolah Adik, itu. Guru yang disiplin malah disebut guru jahat. Orangtuanya pun ikut membenci gurunya karena anaknya diperlakukan ketat. Tapi dianggap diperlakukan tidak baik.
Kira-kira ada berapa sekolah di Indonesia yang guru-gurunya dilabel baik oleh anak-anak, seperti SMP "itu. Lalu, ada berapa sekolah yang gurunya dianggap tidak baik seperti "SD dan SMA" itu?
Sudah berapa kali Kurikulum Pendidikan berganti nama? Adakah dunia pendidikan kita bertambah benar dan baik. Menghasilkan manusia-manusia yang berintegritas dan kuat iman?
Adakah yang buruk dianggap baik. Yang salah dianggap benar, berubah sampai sekarang? Jawabnya, tidak.
Adakah keteladanan yang benar dan baik dari para elite dan pemimpin kita? Sebab di bangku sekolah pun, masih banyak guru yang pekerjaannya mencari muka agar tetap dianggap guru yang benar dan baik agar tetap disukai anak.
Perilaku ini sama dengan pemimpin kita, melakukan hal buruk, tetapi tetap dianggap hal baik oleh sebagain rakyat yang mendewakan. Melakukan hal salah tetapi tetap di benarkan oleh rakyat. Karena kondisi rakyat yang "terjepit dan dijepit".
Kasus bansos dalam Pemilu, bila kisahnya benar, adalah satu di antara contoh mencari mukanya pihak tertentu demi dianggap baik oleh rakyat. Meski melakukan hal yang salah dan buruk, tidak peduli. Terpenting hati rakyat terbeli. Suara pun di dapat.
Yah, label, jabatan, kedudukan, kekuasaan, harta, uang, ternyata tetap mampu meruntuhkan integritas dan iman seseorang. Sehingga menempuh berbagai cara agar tetap dianggap benar dan baik. Padahal yang dilakukan salah dan buruk. Semoga hidayah segera menghampiri mereka di bulan yang penuh berkah dan ampunan ini. Aamiin.