Yossie Fadlila Susanti
Yossie Fadlila Susanti Guru

Travelling susur tempat bersejarah seperti candi-candi peninggalan nenek moyang, bangunan kuno, dan mengulik sejarahnya adalah hal yang sangat saya sukai disamping profesi sebagai pendidik anak usia dini.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Ketika Dia Pergi (Part II)

16 April 2023   13:31 Diperbarui: 16 April 2023   16:45 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika Dia Pergi (Part II)
Sumber Ilustrasi : Pixabay

          

            Gerimis sore ini,  tak seperti biasanya. Sebuah pelangi mengiringi deru rintik air yang turun membasahi bumi. Warnanya indah menggores syahdu sang langit, seperti hendak mengabarkan berita bahagia kepada Yu Partinah yang tengah melintas di jalan setapak, menuju sebuah tempat pemakaman dengan  payung kecilnya.

            Sang mentari masih malu-malu menampakkan dirinya, usai sang hujan turun dengan derasnya. Aroma khas bumi yang lama tak tersiram hujan, merebak  di antara wanginya bunga kamboja di tanah pemakaman.

            Di ujung barat sisi pemakaman, Yu Partinah melihat beberapa orang yang sedang berdoa di hadapan sebuah makam. Tak banyak yang datang untuk berziarah sore ini. Mungkin karena hujan deras tadi siang, sehingga tanah yang becek dan berlumpur membuat orang  enggan mengunjungi makam sore ini.

            Rasulullah pernah  menjelaskan hikmah ziarah kubur dalam suatu hadist.

            "Pada awalnya aku melarang kalian untuk menziarahi kuburan, sekarang ziarahilah!,  karena sesungguhnya ziarah kubur itu dapat melunakkan hati, mencucurkan air mata,       mengingat akhirat, dan janganlah kalian mengatakan al hujr (perkataan mungkar)"  (HR. Muslim, Ahmad, al Hakim, at Tirmidzi, Abu Dawud dan dishohihkan oleh  Syaikh al Albani dalam Shohih al Jami')

            "Nanti sore tak temani Mbakyu, aku kan juga mau ziarah ke makam Bapak," kata Maryam tadi pagi, saat mereka bertemu di pasar untuk membeli keperluan lebaran. Sepulang dari pasar, Maryam telepon memberitahu bahwa, ia tidak bisa menemani Yu Partinah ke makam. Bulik Marti, adik dari Bapak Maryam mendadak mengabari bahwa beliau beserta keluarga akan datang berkunjung ke rumah Maryam.

            "Iya, ndak papa Dik May, aku sudah biasa mandiri kok. Semoga nanti sore hujan sudah reda," jawab Yu Partinah saat Maryam menelepon.

            Tanah merah di pemakaman   lumayan becek dan berlumpur. Yu Partinah tidak menghiraukan gubal lumpur menempel di sandalnya. Memang cukup merepotkan Yu Partinah berjalan, tapi ia tak merasa terganggu akan hal itu.

            Ahmad Badrun Bin Amin Basyari. Di makam ber-nisan nama itu, Yu Partinah berhenti. Beberapa detik ia berdiri mematung memandangi makam almarhum suaminya. Terdengar helaan nafasnya panjang, melonggarkan dadanya yang  tetiba  sesak, karena menahan rindu.

            Sesungguhnya, sepeninggal  Kang Badrun, banyak laki-laki yang ingin melamar Yu Partinah menjadi istrinya. Tapi Yu Partinah masih bertahan dengan kesendiriannya. Kang Badrun belum tergantikan oleh siapapun di hatinya.

            Gerimis perlahan menghilang. Yu Partinah meletakkan payungnya di samping makam. Suara desir angin beradu dengan dedaunan pohon kamboja mengalun lembut di telinga Yu Partinah seperti menyambut kedatangannya sore itu. Perlahan tangannya meraih serumpun perdu liar yang mulai tumbuh di sekitar makam. Yu Partinah kembali menghela nafas sambil merapatkan jaketnya. Jaket yang dulu selalu dipakai Kang Badrun kemanapun ia pergi. Suatu ketika, Ardan, anak lelakinya pernah meminta ijin untuk membawa jaket itu ke tempatnya mondok.

            "Bu, bolehkah Kakak membawa jaket Ayah ke pondok?" tanya Ardan suatu hari via telepon. "Kakak kangen Ayah, Bu," imbuh Ardan lirih.

            "Apa ndak kebesaran Le?" jawab Yu Partinah. "Besok kalau Ibu ada rejeki, Ibu belikan yang baru saja ya Le," imbuhnya. Ibunya tahu, saat itu putranya kangen dengan sosok ayahnya.

            "Jangan lupa selalu doakan Ayahmu ya Le," ujar Yu Partinah kala itu.

            Saat itu adalah  saat awal Ardan mulai masuk ke pondok. Dan tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Ardan telah tumbuh menjadi pemuda  gagah dan tampan. Prestasi di pondok tak diragukan lagi. Berbagai even kejuaraan ia dapatkan. Rasa syukur, bangga, haru sekaligus pilu beradu jadi satu, mengaduk perasaan Yu Partinah tiap kali Ardan menelepon untuk mengabarkan tentang prestasinya.

            "Assalamu'alaikum, Ibu, apa kabar? Ibu sehat kan?" suara Ardan tempo hari via telepon.

            "Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, Alhamdulillah Ibu sehat Le, kamu juga sehat to? Ibu wes kuangeeennnn banget Le, kapan Ardan pulang ke rumah?" jawab Ibunya yang selalu menantikan kabar dari putranya itu.

            "Alhamdulillah, Kakak sehat Bu ...," jawab Ardan. "Bu ...," lanjutnya.

Suara Ardan tertahan,  seperti ada sesuatu hal yang membuatnya ragu untuk melanjutkan ucapannya.

            "Pripun Le? Apa kamu butuh sesuatu? Ibu punya sedikit simpanan kok Le, jangan khawatir," jawab Ibunya.

            "Mboten Bu, semua kebutuhan Kakak Alhamdulillah sudah terpenuhi di sini. Kakak minta restu Ibu," Ardan kembali terdiam sesaat.

            "Tadi pagi Pak Kyai Baharuddin mengundang Kakak untuk memberitahu bahwa pengajuan beasiswa Kakak untuk kuliah di Kairo disetujui. Kakak menunggu restu Ibu," ucap Ardan.

            Suasana mendadak hening. Beberapa detik tak ada pembicaraan antara Ibu dan anak itu. Ardan bermaksud menunggu reaksi dan jawaban Ibunya, sedangkan Yu Partinah, suaranya seperti tercekat. Tenggorokannya tiba-tiba terasa sakit, ada rasa panas di matanya. Dan tak kuasa ia menahan buliran air mata yang mengucur  deras tak terbendung. Yu Partinah tersedu-sedu. Rasa yang pernah ia dapatkan di awal kepergian putranya mondok, kembali membuncahkan dadanya. Ke Kairo?

            "Harus berapa lama lagi aku menahan rindu kepada anakku, Ya Rabb," tangisnya pilu di qiyamul lailnya suatu malam.

            Suara adzan asyar lamat-lamat terdengar dari area pemakaman. Yu Partinah masih duduk dekat makam suaminya. Sebuah dingklik kecil yang menyangga tubuhnya sedikit amblas ke dalam tanah. Tanah di area pemakaman masih basah dan berlumpur.

            "Kang, Ardan putra kita ..., " suara Yu Partinah lirih. "Dia sangat membanggakan kita, Kang. Bulan depan Ardan berangkat ke Kairo untuk melanjutkan studi S1 nya. Seperti cita-cita Kang Badrun dulu," ucap Yu Partinah di hadapan makam almarhum Kang Badrun.

            "Sampai kapan pun, aku akan menunggu kepulangan anak kita, kembali ke desa kita. Semoga kelak, ilmunya bermanfaat untuk umat Islam di desa kita ya, Kang," imbuh Yu Partinah sambil sesenggukan. Sebuah keinginan sederhana dari seorang Ibu yang menahan rindu kepada dua orang lelaki yang sangat dicintainya, almarhum Kang Badrun dan Ardan, putra semata wayangnya.

            Sore makin menjelang, Yu Partinah ingat, ia masih mempunyai tanggungjawab untuk mengajar  anak-anak di TPQ   At Taqwa dan mempersiapkan buka bersama dengan mereka sampai jelang hari Idul Fitri tujuh hari ke depan. Semua ia jalani dengan penuh keihklasan. 

           Yu Partinah berjalan keluar dari area pemakaman. Langkahnya terasa ringan kini. Sebuah payung kecil tergenggam di tangan kirinya. Kakinya tersapu lumpur. Ia tak peduli. 

           Di depan gerbang pemakaman, Yu Partinah berhenti. Kabut tipis perlahan menghilang, oleh  mentari yang  tak malu lagi menampakkan sinarnya.

            Islam mengajarkan bahwa segala perbuatan amal ibadah tidak akan diterima Allah, jika tidak disertai dengan sikap penuh keikhlasan. Hal ini disebutkan pada surat Q.S. al-Bayyinah (98): 5 yang berbunyi:

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus."

~ Yfs ~

Ambarawa, 16 April 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun