Asep Saepul Adha
Asep Saepul Adha Guru

Senang membaca dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

Ayahku, Sumber Inspirasi: Kisah Transmigran yang Menggerakkan Desa

19 Maret 2025   08:53 Diperbarui: 26 Maret 2025   09:48 1123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ayahku, Sumber Inspirasi: Kisah Transmigran yang Menggerakkan Desa
Sumber Ilustrasi: Kebun Kelapa Sawit (Dokumen pribadi)

Ayahku, Sumber Inspirasi: Kisah Transmigran yang Menggerakkan Desa

Kehidupan sehari-hari seringkali menyimpan banyak kisah inspiratif yang mungkin tidak kita sadari.

Terkadang, kita terlalu sibuk mengejar mimpi besar hingga lupa bahwa inspirasi bisa datang dari orang-orang terdekat di sekitar kita. Mereka adalah sosok-sosok biasa yang melakukan hal-hal luar biasa dengan ketulusan dan ketekunan.

Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi kisah inspiratif dari orang-orang di sekitar saya yang telah mengajarkan arti ketangguhan, kerja keras, dan kebaikan hati.

Bapak Saya Sang Transmigran 

Setelah 'membaca' bagaimana sepak terjang orang-orang di sekitar desa saya, dari awal transmigrasi sampai sekarang, saya merasa terdorong untuk mengangkat kisah hidup bapak saya sebagai sebuah narasi yang layak diceritakan.

Perjalanan hidupnya, mulai dari menjadi bagian dari program transmigrasi hingga membangun kehidupan yang mandiri dan sukses di desa ini, adalah bukti nyata dari ketangguhan, kerja keras, dan semangat pantang menyerah.

Bapak saya (selanjutnya: bapak) adalah salah satu sosok yang turut membentuk wajah desa ini, dari tanah yang awalnya tandus dan sepi menjadi sebuah komunitas yang hidup dan penuh harapan.

Melalui kisahnya, saya ingin menggambarkan bagaimana perjuangan seorang transmigran bukan hanya tentang pindah tempat tinggal, tetapi juga tentang membangun mimpi, mengatasi rintangan, dan menciptakan warisan untuk generasi berikutnya.

Pemukiman yang Belum Siap

Desa Nusamakmur yang kini ramai dan berkembang, dahulunya adalah pemukiman transmigrasi Unit II Cintamanis. Kami, para transmigran yang berasal dari berbagai daerah seperti Bandung, Sukabumi, Sumedang, Brebes, dan Kebumen, tiba di sini pada tahun 1973 dengan harapan untuk memulai kehidupan baru.

Namun, saat itu kami belum bisa langsung menempati pemukiman yang disediakan karena rumah hunian belum siap. Akhirnya, kami terpaksa menumpang sementara di pemukiman transmigrasi Unit I, yang kini dikenal sebagai Desa Cintamanis Baru.

Ketika rumah hunian akhirnya dinyatakan siap, kami pun segera pindah ke tempat tinggal baru kami. Namun, apa yang kami temui jauh dari gambaran yang kami bayangkan.

Lahan pekarangan seluas seperempat hektar yang seharusnya menjadi tempat kami bercocok tanam masih dipenuhi tunggak kayu gelam dan genangan air. 

Jalan-jalan pun belum terbentuk dengan baik; yang ada hanyalah patok-patok batas jalan dan tumpukan kayu gelam yang berserakan.

Kondisi ini sangat berbeda dengan program transmigrasi di tempat lain, di mana rumah hunian sudah siap, kebun sudah ditata rapi, apalagi di program Perkebunan Inti Rakyat (PIR), di mana ladang sudah berupa kebun sawit atau karet yang siap panen.

Kami, para transmigran di Desa Nusamakmur, benar-benar memulai dari nol. Tidak ada fasilitas yang memadai, tidak ada kebun yang sudah jadi, dan tidak ada kemudahan yang diberikan.

Semua harus kami usahakan sendiri, dari membersihkan lahan, membangun jalan, hingga menanam tanaman untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Perjuangan kami tidaklah mudah, tetapi justru dari situlah kami belajar arti ketangguhan, kerja keras, dan kebersamaan.

Desa Nusamakmur yang sekarang adalah hasil dari jerih payah dan semangat pantang menyerah para transmigran yang bertekad untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri dan generasi mendatang.

Merubah Hutan Jadi Lahan Pertanian

Dengan semangat yang membara, bapak setiap hari berjuang membersihkan lahan dengan membuang tunggak-tunggak kayu gelam yang memenuhi pekarangan. Prosesnya tidak mudah, tetapi sedikit demi sedikit, lahan yang awalnya dipenuhi rintangan itu akhirnya bisa dibersihkan dan siap ditanami.

Tanaman pertama yang bapak pilih adalah ubi kayu, karena tanaman ini mudah tumbuh dan cepat menghasilkan. Setelah ubi kayu berbuah, hampir setiap hari makanan kami berasal dari olahan berbahan dasar ubi. Meskipun sederhana, makanan itu menjadi penyambung hidup kami di masa-masa awal yang penuh dengan kesulitan. 

Sebelum transmigrasi ke desa ini, bapak saya adalah seorang Lebe di Bandung (sebutan untuk orang yang bertugas menikahkan warga desa) dan juga aktif mengajar bapak-bapak serta ibu-ibu di majelis ta'lim. Latar belakangnya sebagai seorang yang pernah mondok di pesantren membuatnya memiliki ilmu agama yang cukup untuk dibagikan.

Meskipun kini hidup di tempat baru yang penuh dengan kesibukan mengurus lahan dan memenuhi kebutuhan keluarga, bapak tetap tidak melupakan perannya sebagai pengajar.

Di sela-sela waktu kerjanya, beliau menyempatkan diri untuk mengajar ngaji setiap ba'da Magrib dan ba'da Jum'at, memanfaatkan ilmu yang ia peroleh selama di pesantren. 

Kegigihan bapak dalam mengubah hutan menjadi lahan pertanian dan dedikasinya dalam menyebarkan ilmu agama menjadi bukti nyata bahwa perjuangan dan keikhlasan bisa mengubah tantangan menjadi peluang.

Bapak tidak hanya membangun kehidupan baru bagi keluarga, tetapi juga turut membangun semangat keagamaan dan kebersamaan di tengah masyarakat desa yang baru kami tinggali.

Kisah bapak mengajarkan saya bahwa kerja keras dan ketulusan hati adalah kunci untuk menciptakan perubahan, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Ingin Pulang ke Bandung

Kalau malam hari, bapak saya sering mengumpulkan kami, anak-anaknya yang sudah bisa bekerja, untuk merencanakan apa yang akan dikerjakan keesokan harinya. Beliau membagi tugas dengan jelas dan detail, memastikan setiap orang tahu apa yang harus dilakukan.

Prinsip yang beliau terapkan sejalan dengan pepatah modern, "rencanakan apa yang akan dikerjakan dan kerjakan apa yang telah direncanakan." Ternyata, bapak sudah menjalankan prinsip itu sejak dulu, jauh sebelum pepatah tersebut populer. 

Dengan disiplin dan kerja keras, kebun di sekitar rumah yang awalnya hanya ditanami ubi kayu perlahan-lahan berubah menjadi kebun kopi yang subur.

Kami merawatnya dengan penuh dedikasi, dan karena bapak dianggap sebagai tokoh agama di desa, seringkali jamaah pengajiannya turut membantu membersihkan kebun dan memupuk tanaman kopi. Kebersamaan dan gotong royong ini menjadi kekuatan besar yang mempercepat perkembangan kebun kami. 

Hasilnya pun mulai terlihat. Kami bisa menjual buah kopi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Alhamdulillah, dari hasil jerih payah itu, bapak bahkan mampu menyekolahkan dan menguliahkan anak-anaknya. Perubahan ini tidak terjadi dalam waktu singkat, tetapi lambat laun kehidupan kami pun berubah menjadi lebih baik.

Padahal, dulu ibu saya pernah menangis karena merasa berat dengan kehidupan yang serba sulit, bahkan sempat ingin pulang ke Bandung. Namun, berkat kegigihan bapak, kami bisa melewati masa-masa sulit itu dan meraih kehidupan yang lebih sejahtera. 

Kisah ini mengajarkan bahwa kesabaran, perencanaan, dan kerja keras adalah kunci untuk mengubah tantangan menjadi peluang.

Bapak tidak hanya membawa perubahan bagi keluarga kami, tetapi juga menjadi contoh nyata bahwa impian bisa terwujud asalkan kita tidak pernah menyerah dan selalu berpegang pada prinsip yang benar.

Setelah melihat keberhasilan bapak dalam bertanam kopi, maka masyarakat Nusamakmur banyak yang mengikuti jejaknya untuk merubah kebunnya menjadi kebun kopi.

Kema'muran yang Tertunda

Melihat Desa Nusamakmur yang sekarang, saya seolah-olah tidak percaya dengan perubahan yang terjadi. Saya masih ingat betul bagaimana awalnya daerah ini hanyalah hutan belantara yang dipenuhi dengan pohon gelam, tanahnya sulit ditanami kecuali saat musim kemarau panjang.

Kini, pemandangan itu telah berubah total. Kebun-kebun hijau luas membentang, dihiasi dengan tanaman karet dan sawit yang tumbuh subur.

Dulu, kami hanya bisa bertahan dengan makan ubi kayu, makanan yang sederhana dan monoton.

Sekarang, penduduk desa sudah hidup makmur, bisa menikmati berbagai jenis makanan, dan banyak yang bahkan sudah memiliki usaha dagang serta banyak yang sudah memiliki kendaraan roda empat, dari yang murah sampai yang mahal ada di Nusamakmur sebuah desa yang tidak dilalui jalan kabupaten.

Perubahan ini tidak terjadi dalam semalam. Butuh waktu 53 tahun bagi masyarakat Nusamakmur untuk merasakan kemakmuran yang sesungguhnya.

Nama "Nusamakmur" yang diberikan oleh bapak saya ternyata mengandung makna yang dalam. "Nasia ma'mur" bisa diartikan sebagai kemakmuran yang hampir terlupakan atau kemakmuran yang tertunda. Memang, perjuangan untuk mencapai kemakmuran ini membutuhkan kesabaran, kerja keras, dan ketekunan yang luar biasa. 

Kini, ketika saya melihat desa ini, saya merasa bangga dan terharu. Dari hutan belantara yang sulit diolah, Nusamakmur telah bertransformasi menjadi sebuah desa yang subur, produktif, dan penuh harapan.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa kemakmuran tidak datang secara instan, tetapi melalui proses panjang yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan. 

Nusamakmur adalah bukti nyata bahwa impian akan kehidupan yang lebih baik bisa terwujud asalkan kita tidak pernah menyerah dan terus berusaha.

Sumber Inspirasi Bagi Warga

Setelah saya perhatikan, masyarakat Nusamakmur memiliki kecenderungan untuk mudah terpengaruh oleh keberhasilan orang lain.

Siapa pun yang berhasil melakukan sesuatu, maka mereka akan menirunya. Ketika dulu bapak saya berhasil menanam kopi dan meraih hasil yang baik, orang-orang di Nusamakmur pun mulai menanam kopi.

Begitu pula ketika ibu saya menjual buah sahang (merica) yang ditanam oleh bapak, masyarakat sekitar pun mulai menanam merica di sela-sela pohon kopi mereka. Ketika bapak kemudian beralih menanam karet, orang-orang pun ikut menanam karet. 

Bapak saya, tanpa disadari, telah menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat sekitar. Keberhasilannya dalam mengelola lahan dan mencoba berbagai jenis tanaman tidak hanya membawa kemajuan bagi keluarga kami, tetapi juga memicu perubahan positif di seluruh desa.

Dari sini, saya pun menarik kesimpulan bahwa dalam masyarakat seperti ini, siapa yang duluan berhasil, dialah yang akan diikuti oleh orang lain. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dan keteladanan memiliki peran penting dalam membawa perubahan. Bapak tidak hanya fokus pada kesuksesan pribadi, tetapi juga secara tidak langsung memotivasi orang lain untuk mengikuti langkahnya.

Hal ini membuktikan bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga dapat menjadi pemicu bagi kemajuan bersama.

Masyarakat Nusamakmur, dengan semangat meniru dan beradaptasi, telah membuktikan bahwa inspirasi bisa datang dari siapa saja, asalkan ada keberanian untuk memulai dan ketekunan untuk terus berusaha.

Pelajaran dari Kisah

Pelajaran berharga dari kisah ini adalah bahwa apa pun yang kita lakukan senantiasa disorot atau diperhatikan oleh orang lain. Setiap tindakan, keputusan, dan langkah kita memiliki potensi untuk memengaruhi dan menginspirasi orang di sekitar kita.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu memastikan bahwa apa yang kita lakukan adalah hal-hal yang baik, karena pada akhirnya, kebaikan itu akan berdampak positif tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi masyarakat luas. 

Kisah ini juga mengajarkan kita untuk tidak takut berubah. Perubahan adalah sesuatu yang perlu dan tak terhindarkan dalam hidup.

Namun, untuk meraih perubahan yang baik, diperlukan kerja keras, ketekunan, dan kesabaran. Selain itu, kita juga tidak boleh melupakan peran Allah dalam setiap perubahan yang terjadi.

Dengan menyadari bahwa segala keberhasilan dan kemajuan adalah berkat izin dan pertolongan-Nya, kita akan senantiasa tumbuh rasa syukur kepada Allah. 

Dengan demikian, hidup kita tidak hanya bermakna bagi diri sendiri, tetapi juga menjadi berkah bagi orang lain. Perubahan yang baik, yang diiringi dengan kerja keras dan rasa syukur, akan membawa kita pada kehidupan yang lebih bermakna dan bermanfaat bagi sesama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Nunggu Bedug Makin Seru di Bukber Kompasianer

Selain buka puasa bersama, Kompasiana dan teman Tenteram ingin mengajak Kompasianer untuk saling berbagi perasaan dan sama-sama merefleksikan kembali makna hari raya.

Info selengkapnya: KetemudiRamadan2025

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun