Tinggalkan Jejak Bukan Sampah, Bangga Berwisata di Indonesia dengan Perilaku Bertanggung Jawab
Pariwisata merupakan salah satu urat nadi ekonomi, tidak terkecuali di Indonesia. Setelah melewati masa suram, sektor ini pun kembali ke musim semi dengan fajar harapan yang kian menyingsing.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno memberikan kabar baik tersebut di hadapan Komisi X DPR RI.
Melansir kemenparekraf.go.id (25/1/2023), dalam paparannya terkait realisasi anggaran Kemenparekraf/Baparekraf tahun 2022, Sandi Uno menyebut realisasi anggaran hampir 100 persen.
Berbarengan dengan itu ada sejumlah pencapaian yang menuai apresiasi. Dimulai dengan keberhasilan Indonesia meraih peringkat ke-32 dalam Travel and Tourism Development Index (TTDI), lalu peningkatan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) pariwisata.
Juga, peningkatan nilai devisa pariwisata, peningkatan nilai tambah ekonomi kreatif, hingga peningkatan angka kunjungan wisatwan mancanegara (wisman) dan jumlah pergerakan wisatawan nusantara.
Sandi Uno menyebut kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB naik dari 2,4 persen pada tahun sebelumnya menjadi 3,6 persen.
Nilai devisa pariwisata meningkat drastis ke angka USD 4,26 miliar dari sebelumnya USD 0,52 miliar pada 2021. Nilai tambah ekonomi kreatif bertumbuh dari Rp1.191 triliun menjadi Rp1.236 triliun.
Berbagai peningkatan itu tidak lepas dari peningkatan kunjungan wisman sebesar 4,58 juta dan 633 juta pergerakan wisatawan domestik.
Tentu, harapannya angka tersebut terus meningkat di tahun-tahun selanjutnya. Wisatawan dari mana saja, terutama dari dalam negeri mestinya semakin Bangga Berwisata di Indonesia.
Orang Indonesia tidak selalu menempatkan negara-negara lain sebagai destinasi utama, melainkan makin tumbuh kesadaran untuk berwisata Di Indonesia Aja.
Sustainable and Responsible Travel
Cita-cita mulia mesti dibarengi dengan kedadaran dan tanggung jawab. Makin meningkatnya jumlah perjalanan, penting untuk memikirkan secara serius perjalanan yang bertanggung jawab.
Sebab, pariwisata bila dijalankan secara serampangan maka akan memberikan dampak buruk mulai dari polusi, gangguan konservasi dan habitat makhluk hidup, dan sebagainya.
Pariwisata, dalam pandangan banyak orang dan telah terbukti kebenarannya, tak ubahnya pedang bermata dua. Di satu sisi bisa menyejahterakan, namun di sisi lain justru menghancurkan masyarakat dan alam lingkungan.
Bila demikian, apa solusi terbaik? Apakah kita perlu melakukan pembatasan secara ketat? Pastinya itu bukan solusi terbaik.
Yang sebaiknya dilakukan adalah masing-masing pihak ikut berkontribusi secara konstruktif untuk mengedepankan rasa tanggung jawab dan keberlanjutan pada setiap destinasi wisata. Tidak terkecuali para turis atau pelancong.
Turis, apalagi dari dalam negeri, mestinya menjadi contoh dan berada di garda terdepan untuk menunjukkan rasa tanggung jawab dan kebanggaan akan kekayaan pariwisata dengan sikap dan tingkah laku positif.
Pariwisata yang bertanggung jawab, sudah ditegaskan dalam KTT Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan pada 2022, adalah upaya membuat tempat tinggal yang baik dan tempat yang lebih baik untuk dikunjungi orang.
Untuk sampai ke sana, tidak bisa mengandalkan kerja keras pihak-pihak tertentu. Butuh intervensi komprehensif dan pendekatan integral yang melibatkan semua pihak mulai dari operator, pelaku bisnis perhotelan/akomodasi, pemerintah, masyarakat lokal, hingga wisatawan.
Semua pihak harus berangkat dari dan bergerak ke tujuan yang satu dan sama. Membuat pariwisata lebih berkelanjutan, baik dari sisi sosial, ekonomi maupun lingkungan.
Muncul banyak gagasan terkait seperti pariwisata berkelanjutan, perjalanan etis, ekowisata, dan sebagainya. Berbagai sebutan itu sesungguhnya mengerucut pada muara yang satu dan sama.
Apakah Anda siap untuk menjadi bagian dari misi mulia itu?
Tinggalkan jejak bukan sampah
Kita coba fokus pada pelancong atau turis sebagai komponen penting untuk ambil bagian dalam berbagai inisiatif. Inisiatif-inisiatif yang dibangun di atas pandangan egaliter untuk memperlakukan setiap orang dan tempat lain sama seperti kita memperlakukan orang dan tempat kita sendiri.
Dari situ akan mewujud dalam sejumlah tindakan praktis.
Pertama, untuk mengurangi dampak buruk perjalanan massal maka perlu perhitungan yang bijak sebelum berangkat. Mulai dari tujuan, operator, hingga akomodasi.
Pilihkan tempat yang benar-benar menjadi impian dan bisa mendatangkan kepuasan, alih-alih terpengaruh pada tawaran promotif yang muncul secara masif.
Di tengah gempuran arus deras teknologi informasi dan komunikasi kita bisa saja mudah jatuh dalam jebakan promotif.
Pada kesempatan yang sama saat memilih akomodasi dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya baiklah memperhatikan rejam jejak mereka. Tidak hanya soal keandalan dalam memberi pelayanan tetapi juga pada visi dan komitmen mereka akan pariwisata berkelanjutan.
Hal itu bisa tercermin dalam banyak pilihan fasilitas dan sarana prasarana baik yang berada di dalam maupun di luar ruangan.
Kedua, kecermatan itu juga ditunjukkan dalam barang bawaan untuk tidak berlebihan, apalagi barang-barang yang akan ditinggalkan sebagai sampah di tempat tujuan.
Sebagai gantinya, lengkapi diri dengan barang-barang yang tidak sekali pakai seperti plastik sekali pakai, bahkan produk ramah lingkungan yang mewujud dalam batang sampo, tusuk gigi, batang deodoran, sedotan, dan sebagainya.
Ketiga, sikap tersebut menunjukkan rasa hormat pada lingkungan. Tidak meninggalkan sampah yang bisa merusak lingkungan. Tidak menjadi racun bagi makhluk hidup lainnya.
Indonesia adalah negara darurat sampah. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) volume timbulan sampah di Indonesia tahun 2022 mencapai 19,45 juta ton.
Mirisnya, tidak sedikit dari jumlah tersebut yang bermuara di lautan. Dari sumber yang sama, tahun 2020, wilayah lautan Indonesia sudah tercemar oleh sekitar 1.772,7 gram sampah per meter persegi.
Diperkirakan jumlah sampah di lautan Indonesia sudah mencapai 5,75 juta ton. Sampah plastik menjadi yang terbanyak dengan bobot 627,80 g/m2 dan telah mengokupasi 35,4 persen total sampah di laut Nusantara.
Selain plastik, sampah kaca dan keramik (226,29 g/m2 atau 12,76 persen dari total sampah di laut), logam (224,76 g/m2), kayu (202,36 g/m2), karet (56,68 g/m2), busa plastik (56,68 g/m2), sampah kertas dan kardus (21,86 g/m2).
Mayoritas sampah-sampah itu butuh waktu sangat lama untuk terurai. Plastik misalnya tidak bisa terurai sebelum 1000 tahun.
Untuk itu, perlu gerakan bersama untuk menekan jumlah sampah. Buanglah sampah pada tempatnya. Anjuran untuk meninggalkan jejak bukan sampah di setip perjalanan sungguh tepat.
Langkah pertama
Keempat, sebagai bagian dari perjalanan bertanggungjawab maka perlu ada keberpihakan pada setiap destinasi yang dikunjungi, berikut budaya, dan komunitasnya.
Seruan untuk berbelanja di pusat perbelanjaan atau pasar-pasar tradisional setempat adalah bagian dari upaya untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi setiap wilayah yang dikunjungi.
Membeli makanan di pasar lokal alih-alih supermarket besar yang menjual produk impor dan ikut mendongkrak emisi karbon dari setiap perjalanan jauh, berikut pakaian sambil membawa tas atau wadah sendiri yang bisa digunakan kembali ketimbang kantong plastik.
Tak kalah penting adalah hemat air dan energi dalam setiap perjalanan. Cermat menggunakan air karena krisis air sedang mengintai lantaran sumber daya air kian berkurang, mengontrol suhu ruangan, pemanas, AC, lemari es, dan masih banyak lagi.
Berbagai contoh di atas terlihat sederhana bahkan klise. Namun, pengaruhnya sangat besar. Bila setiap wisatawan dari mana dia berasal mengusung semangat dan prinsip yang sama maka akan sangat berdampak bagi planet ini.
Ahli filsafat kondang dari China, Lao Tzu punya salah satu ungkapan menarik. Perjalanan seribu mil, harus dimulai dengan satu langkah.
Begitu juga dalam urusan pariwisata! Kalau bukan kita yang pertama-tama Bangga Berwisata di Indonesia dan menjadi inisiator berwisata Di Indonesia Aja dengan menunjukkan perilaku bertanggung jawab dan berkelanjutan, maka siapa lagi?