Bijak dan Tak Memaksakan Diri, Kunci Finansial Sehat Selama Ramadan
Saat Ramadan, pengeluaran rumah tangga umumnya lebih besar dibanding pada bulan-bulan lain.
Berdasarkan hasil kajian Febriyanto dkk [2019] yang dikutip detik.com, selama bulan puasa rata-rata konsumsi rumah tangga meningkat antara 10-30 persen hingga 100-150 persen.
Peningkatan pengeluaran tersebut termasuk untuk berbelanja sahur dan berbuka puasa.
Sungguh ironis ya, padahal secara etimologis puasa memiliki arti mengekang atau menahan diri dari sesuatu.
Namun, pada kenyataannya, makanan dan minuman lebih banyak dibeli, baik yang sudah siap konsumsi maupun yang masih berbentuk bahan-bahan mentah.
Begitupula dengan perlengkapan ibadah, seperti sajadah, mukena, peci, dan kain sarung. Belum lagi baju-baju untuk salat tarawih dan Hari Raya Idulfitri. Duh, macam mana dompet tidak boncos?
Lalu, bagaimana agar finansial tetap sehat selama bulan Ramadan?
Wajib Membuat Perencanaan
Perencanaan keuangan merupakan suatu keharusan. Terlebih gaya hidup zaman now yang semakin konsumtif. Semua serba ada, semua serba mudah. Semakin membutuhkan tekad yang kuat untuk melakukan perencanaan keuangan yang sesuai dengan pendapatan dan kebutuhan.
Jangan sampai besar pasak daripada tiang. Oleh karena itu, beberapa hari menjelang Ramadan, seharusnya kita sudah menghitung jumlah pendapatan dan pengeluaran selama bulan suci penuh berkah ini.
Hitung berapa zakat dan infak yang akan dikeluarkan, kebutuhan makanan dan minuman untuk berbuka puasa dan sahur, keperluan untuk membeli perlengkapan ibadah, kepentingan untuk membeli pakaian untuk hari raya.
Hitung juga berapa pendapatan yang akan kita terima. Berapa yang akan kita anggarkan untuk memenuhi keperluan selama Ramadan? Bila pengeluaran masih lebih besar dari pendapatan, revisi ulang. Pangkas yang tidak begitu perlu.
Kalau bisa, pendapatan yang kita terima jangan dihabiskan seluruhnya. Sisakan beberapa persen. Percaya deh, saat Hari Raya Idulfitri nanti, pengeluaran pasti tidak kalah banyak. Terlebih bila kita mudik ke kampung halaman.
Meski katanya rezeki itu sudah sunatullah, dijamin oleh Allah SWT, akan tetapi tetap saja, pengeluaran harus direncanakan.
Jangan sampai, kebutuhan pokok dan pengeluaran wajib justru tidak terpenuhi karena terlalu boros memanjakan diri untuk memenuhi keinginan-keinginan yang tidak begitu penting.
Kita harus pintar mengelola keuangan keluarga. Tidak hanya pandai menata pendapatan, tetapi juga cerdas mengatur kebutuhan dan keinginan.
Nabi Muhammad SAW saja terbiasa terencana dalam setiap urusan, termasuk dalam hal mengelola keuangan.
Dalam salah satu hadist, beliau bahkan menegaskan:
"Allah akan memberi rahmat bagi hambanya yang mencari rezeki yang halal dan menyedekahkan dengan kesengajaan, mendahulukan kebutuhan yang lebih penting, pada hari di mana ia dalam keadaan fakir dan memiliki hajat." (Muttafaq 'alaih).
Jangan Lapar Mata
Saat perut kosong karena sedang berpuasa Ramadan, kita umumnya lebih impulsif membeli beragam barang. Itu makanya tak heran, saat berburu takjil, kita umumnya ingin membeli beragam makanan dan minuman untuk berbuka puasa dalam jumlah banyak.
Sudah beli jus, mau juga beli sop buah. Sudah beli bubur sum-sum, mau juga beli kolak. Sudah beli dim sum, mau juga beli pempek. Sudah beli tahu gejrot, mau juga beli seblak. Sudah beli cilok, mau juga beli bakso.
Belum lagi saat berbelanja ke pasar. Semua bahan makanan rasanya mau dibeli. Lihat labu kuning yang besar dan segar, mau juga rasanya dibeli. Lihat brokoli yang hijau pekat, mau juga diangkut ke rumah. Bahkan lihat cabai merah besar dan segar juga pengen.
Duh, ingat lho kemampuan perut!
Kita juga harus ingat kalau bahan makanan itu tidak bisa bertahan terlalu lama, walaupun sudah dimasukan ke dalam kulkas. Apalagi makanan-makanan yang sudah diolah dan siap santap. Terkadang, makanan yang kita beli saat berbuka puasa, pas kita mau makan kembali untuk sahur, sudah tidak layak makan. Padahal sudah dihangatkan. Rasa dan bentuknya berubah, atau malah basi.
Sayang uangnya kalau dihambur-hambur untuk membeli makanan, atau bahan makanan. Mubazir. Akan jadi food waste juga. Selain akan berdampak pada lingkungan, berdampak pula untuk isi dompet kita. Apalagi harga (bahan) makanan sekarang lumayan mahal.
Beli makanan dan bahan makanan seperlunya saja. Terlebih saat berbuka puasa itu, minum jus buah dan satu porsi dim sum saja sudah kenyang. Sudah tidak sanggup lagi rasanya makan nasi dan makan aneka kue lainnya.
Alhasil, kalau beli banyak-banyak karena lapar mata alamat numpuk tidak dimakan. Ujung-ujungnya masuk kulkas dengan dalih untuk sahur. Padahal pas sahur, sudah makan yang lain lagi karena makanan tersebut sudah tidak bisa lagi dimakan.
Tidak semua sih, tapi pengalaman pribadi, beli makanan untuk berbuka puasa di pasar takjil itu tidak bisa bertahan lama. Jadi, memang harus dihabiskan saat berbuka puasa. Paling banter dihabiskan usai salat tarawih.
Apalagi harus diingat, Allah SWT tidak suka yang berlebih-lebihan.
"...makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan." (QS Al Araf ayat 31)
Pakai Baju Lama atau Manfaatkan Diskon
Menjelang Idulfitri, saya dan keluarga tidak memaksakan diri untuk membeli baju baru. Kalau memang memungkinkan, ya beli, kalau tidak, ya sudah. Kami akan memakai baju lama yang masih terlihat bagus.
Toh, pada bulan-bulan lain di luar Ramadan, kami juga kerap membeli baju. Tidak satu tahun sekali saja menjelang Idulfitri.
Apalagi menjelang Hari Raya Idulfitri itu harga baju muslim suka tidak masuk akal. Harganya bisa dua hingga tiga kali lipat dari hari-hari biasa.
Biar tidak terlalu boncos, kami juga biasanya berbelanja di supermarket dengan memanfaatkan diskon. Namun, terkadang meski sudah didiskon harganya masih tetap tinggi. Modelnya juga terkadang kurang sreg.
Itu makanya, kalau tidak menemukan pakaian dengan model dan budget yang pas di hati. Kami skip membeli baju lebaran.
Apalagi saya pernah beberapa kali kejadian. Beli baju muslim di salah satu department store dengan harga lumayan tinggi beberapa hari menjelang Idulfitri. Meski meringis saat membayar, tetap dibeli karena perlu. Saat itu berpikir momen Idulfitri tidak bisa dimundurkan.
Eh, pas dua hari usai lebaran iseng mampir ke sana lagi, baju yang saya beli itu sudah diskon 70 persen. Hadeeh padahal cuma beda beberapa hari saja. Tidak sampai satu minggu.
Alhasil, sekarang tidak terlalu memaksakan diri untuk mengenakan baju baru di hari lebaran.
Salam Kompasiana! (*)