Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Lainnya

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

Mengunjungi Masjid Al-Wustho Mangkunegaran, Masjid Bergaya Arsitektur Jawa-Eropa

9 Maret 2025   21:52 Diperbarui: 10 Maret 2025   09:51 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengunjungi Masjid Al-Wustho Mangkunegaran, Masjid Bergaya Arsitektur Jawa-Eropa
Bagian depan Masjid Al-Wustho Mangkunegaran (Dok. Pribadi) 

Di tengah hiruk-pikuk Kota Solo yang sarat sejarah, berdiri sebuah masjid yang bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga penanda perjalanan panjang Islam di tanah Jawa. Masjid Al-Wustho Mangkunegaran. Terletak di sisi barat Pura Mangkunegaran, hanya dipisahkan oleh sebuah jalan beraspal yang mengitari kompleks keraton kecil itu.

Keberadaannya mengukuhkan jejak Islam di wilayah yang pernah menjadi bagian dari Kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa. Masjid ini menjadi satu dari empat masjid bersejarah di Solo, berdampingan dengan Masjid Agung, Masjid Kepatihan, dan Masjid Laweyan.

Awalnya, masjid ini tidak berada di tempatnya sekarang. Pada tahun 1757, Pangeran Sambernyawa yang lebih dikenal sebagai Mangkunegara I. Mendirikan masjid pertama di Kampung Kauman, Pasar Legi.

Selama tiga puluh tahun, dari masa kepemimpinan Mangkunegara I hingga Mangkunegara III, masjid itu tetap di sana, melayani para pengikut setia dan masyarakat sekitar.

Pada era Mangkunegara IV, sekitar tahun 1853, diputuskan bahwa masjid harus lebih dekat dengan pusat kekuasaan. Masjid pun dipindahkan ke Jalan Kartini, tepat di seberang Pura Mangkunegaran, agar para nayaka dalem, sentana, dan abdi dalem tidak perlu berjalan jauh untuk menunaikan salat.

Awalnya, Masjid Al-Wustho hanyalah sebuah ruang salat sederhana, tanpa menara, serambi, atau gapura. Baru pada masa pemerintahan Mangkunegara VII, sekitar tahun 1919, masjid ini mengalami perluasan besar-besaran.

Tak sekadar diperbesar, masjid ini juga mendapatkan sentuhan arsitektur unik, hasil perpaduan budaya Jawa dan Eropa. Seorang arsitek Belanda, Thomas Karsten, terlibat dalam proses perancangannya. 

Arsitektur Masjid Al-Wustho perpaduan Jawa-Eropa (Dok. Pribadi) 
Arsitektur Masjid Al-Wustho perpaduan Jawa-Eropa (Dok. Pribadi) 

Kejawen khas Jawa tetap dominan, dengan bentuk joglo yang khas, tetapi dipadukan dengan elemen khas Eropa, seperti lengkungan yang menghiasi gapura masjid. Proyek besar ini akhirnya rampung pada tahun 1926, ditandai dengan digelarnya salat Jumat pertama kali di sana.

Perubahan besar belum berhenti di situ. Pada tahun 1949, Masjid Al-Wustho secara resmi diserahkan kepada Negara. Mengutip dari detikjateng (17 November 2023) Nama yang disematkan pun memiliki makna filosofis yang dalam "Al-Wustho" berarti "tengah-tengah." tutur Purwanto, pengurus Masjid Al-Wustho. 

Nama ini mencerminkan posisi geografisnya yang berada di pusat Kota Surakata serta ukurannya yang lebih kecil dibandingkan Masjid Agung, tetapi lebih besar dari Masjid Laweyan dan Kepatihan.

Tiang utama Masjid, berukir Kaligrafi (Dok. Pribadi) 
Tiang utama Masjid, berukir Kaligrafi (Dok. Pribadi) 

Salah satu unsur khas masjid kuno yang tetap dipertahankan di Al-Wustho adalah keberadaan tiang-tiang penyangga yang kokoh. Tiang ini bukan sekadar elemen arsitektural, tetapi juga memiliki makna simbolis yang kuat. 

Seperti sabda Nabi Muhammad SAW, "Jika ingin menegakkan agama, maka salatlah yang tegak seperti tiang-tiang ini." Itulah sebabnya, masjid-masjid tua di Nusantara hampir selalu memiliki tiang utama sebagai pengingat bagi para jemaahnya.

Gapura Masjid Al-Wustho (Dok. Pribadi) 
Gapura Masjid Al-Wustho (Dok. Pribadi) 

Yang membuat masjid ini semakin istimewa adalah kaligrafi yang tersebar di berbagai sudutnya. Ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi terpahat dengan indah di gapura, pintu, jendela, hingga di empat sokoguru atau tiang utama masjid. 

Salah satu hadis yang tertulis di sana berbunyi: "Siapa yang membangun masjid ini karena Allah, maka Allah akan membangunkan baginya rumah di surga." Sebuah pengingat bagi setiap muslim tentang kemuliaan berbagi dan berkontribusi bagi rumah Allah.

Keunikan Masjid Al-Wustho tidak hanya terletak pada arsitekturnya yang memadukan gaya Jawa dan Eropa, tetapi juga pada pilihan warna cat dindingnya yang khas. Dinding masjid ini didominasi warna hijau dan kuning, yang bukan sekadar estetika semata, melainkan memiliki makna mendalam.

Bagian dalam Masjid Al-Wustho kental akan nuansa Mangkunegaran (Dok. Pribadi) 
Bagian dalam Masjid Al-Wustho kental akan nuansa Mangkunegaran (Dok. Pribadi) 

Warna hijau melambangkan kesuburan, kesejukan, serta identik dengan Islam, mencerminkan kedamaian dan keberkahan yang diharapkan selalu menyertai masjid ini. Sementara itu, warna kuning merepresentasikan kejayaan dan kebangsawanan, mengacu pada identitas Pura Mangkunegaran yang sejak dulu menjadi pusat kebudayaan dan pemerintahan di wilayah ini.

Perpaduan warna hijau dan kuning ini juga mencerminkan bendera resmi Kadipaten Mangkunegaran, menegaskan bahwa masjid ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga bagian dari sejarah dan kebesaran Mangkunegaran. 

Bendera kebesaran Mangkunegaran (sumber gambar: wikipedia/Lyndonbaines)
Bendera kebesaran Mangkunegaran (sumber gambar: wikipedia/Lyndonbaines)

Warna-warna tersebut hingga kini tetap dipertahankan, menjadi ciri khas yang membedakan Masjid Al-Wustho dari masjid-masjid lain di Kota Solo.

Hingga kini, Masjid Al-Wustho masih mempertahankan keaslian dan keanggunannya. Tembok pagar yang mengelilinginya tetap kokoh, sementara mimbar, tiang lampu, dan bedug masih berdiri sebagai bagian dari sejarah yang terus dijaga, sebagai simbol kuat tradisi Islam Nusantara.

Bedug dan Kentungan Masjid Al-Wustho (Dok. Pribadi) 
Bedug dan Kentungan Masjid Al-Wustho (Dok. Pribadi) 

Bayangkan dahulu pas waktu mau buka puasa, pasti suara kentungan dan bedug ini dinantikan banyak orang. 

Tung.. tung.. tung.. tung.. dug.. dug.. dug.. dug.. DUG. Alhamdulillah. 

Di sisi selatan masjid terdapat sebuah bangunan namanya maligin, sebuah bangunan melingkar yang dahulu digunakan sebagai tempat khitan massal. 

Maligin Masjid Al-Wustho (Dok. Pribadi) 
Maligin Masjid Al-Wustho (Dok. Pribadi) 

Sementara itu, di sisi utara, menjulang menara setinggi 25 meter yang pada masanya difungsikan sebagai tempat muazin mengumandangkan azan.

Menara Masjid Al-Wustho (Dok. Pribadi) 
Menara Masjid Al-Wustho (Dok. Pribadi) 

Keunikan lain yang membedakan Masjid Al-Wustho dari masjid-masjid lainnya adalah keberadaan markis, yaitu gapura pintu utama yang mengarah ke teras masjid. Markis ini dihiasi dengan kaligrafi indah, memberikan sentuhan spiritual yang kuat bagi siapa pun yang melangkah masuk. 

Markis Masjid Al-Wustho (Dok. Pribadi) 
Markis Masjid Al-Wustho (Dok. Pribadi) 

Tak hanya itu, ukiran ayat-ayat suci Al-Qur'an juga tersebar di berbagai bagian masjid, mulai dari gapura utama, pintu-pintu, hingga jendela-jendelanya, menjadikan setiap sudut masjid penuh dengan pesan keislaman yang mendalam.

Seiring perjalanan waktu, Masjid Al-Wustho terus berkembang, mengikuti dinamika zaman. Jika dahulu ia menjadi pusat pertemuan penting sebelum negara berdiri, kini fungsinya lebih luas. 

Selain menjadi tempat ibadah, masjid ini juga menjadi rumah bagi musafir dan pusat kegiatan keagamaan bagi masyarakat Solo. Tak hanya itu, sejak 2015, masjid ini resmi ditetapkan sebagai cagar budaya, menegaskan statusnya sebagai salah satu peninggalan berharga sejarah Islam di Jawa.

Langkah paling progresif terjadi pada tahun 2021, ketika Masjid Al-Wustho diresmikan sebagai masjid ramah anak. Paradigma pun bergeser, jika dulu anak-anak sering kali dilarang bermain di masjid, kini mereka justru disambut dengan tangan terbuka. 

Masjid Al-Wustho menjadi Masjid ramah anak (Dok. Pribadi) 
Masjid Al-Wustho menjadi Masjid ramah anak (Dok. Pribadi) 

Suasana masjid menjadi lebih inklusif, memberikan ruang bagi anak-anak untuk mencintai tempat ibadah tanpa rasa takut atau tekanan.

Di bulan Ramadan, Masjid Al-Wustho semakin hidup. Jamaah berdatangan bukan hanya untuk menunaikan salat, tetapi juga untuk merasakan atmosfer spiritual yang begitu kental. Tadarus Al-Qur'an menggema, salat tarawih berjamaah dipenuhi kekhusyukan, dan halaman masjid menjadi tempat berbagi takjil bagi yang berbuka puasa. Sebuah pemandangan yang menghadirkan kedamaian, mengingatkan bahwa Islam di tanah Jawa tumbuh dengan harmoni dan keberagaman.

Kini, pengelolaan masjid telah diambil alih oleh masyarakat sekitar. Namun, semangat yang diwariskan Mangkunegara VI tetap terasa. Masjid Al-Wustho bukan hanya tempat sujud, melainkan pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang terus menghidupkan nilai-nilai luhur.

Bisa kunjungi juga feed instagram saya mengenai Masjid Al-Wustho Mangkunegaran ini @muharikaadi


Hari ini, Masjid Al-Wustho bukan hanya saksi bisu sejarah, tetapi juga penjaga tradisi dan simbol harmoni. Di bulan Ramadan, masjid ini bersinar dengan makna yang lebih mendalam.

Lantunan ayat suci menggema di antara tiang-tiangnya, doa-doa dipanjatkan dalam keheningan malam, dan anak-anak berlarian di serambi, membawa semangat baru bagi generasi mendatang.

Seperti namanya, Masjid Al-Wustho tetap menjadi jembatan, antara masa lalu dan masa kini, antara budaya dan spiritualitas, serta antara umat manusia dan Allah SWT.

Terima Kasih, Salam Ramadan.

Referensi :

Haq Ul, Zulfa, Arina. DetikJateng (17 November 2023). Masjid Al Wustho Mangkunegaran, Masjid Kuno Perpaduan Jawa-Eropa. Diakses melalui: https://www.detik.com/jateng/berita/d-7042308/masjid-al-wustho-mangkunegaran-masjid-kuno-perpaduan-jawa-eropa. Pada 9 Maret 2025

Dunia Masjid, Masjid Al Wustho Mangkunegaran. Diakses melalui: https://duniamasjid.islamic-center.or.id/1063/masjid-al-wustho-mangkunegaran/ Pada 9 Maret 2025

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Content Competition Selengkapnya

10 Mar 2025
SEDANG BERLANGSUNG
Mindful Eating saat Sahur & Berbuka
blog competition  ramadan bercerita 2025  ramadan bercerita 2025 hari 8 
11 Mar 2025
Tetap Olahraga di Bulan Puasa
blog competition ramadan bercerita 2025 ramadan bercerita 2025 hari 9
12 Mar 2025

MYSTERY CHALLENGE

Mystery Challenge 2
blog competition ramadan bercerita 2025 ramadan bercerita 2025 hari 10
Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Cara Seru Nunggu Bedug di Ketemu Ramadan

Ketemu di Ramadan hadir kembali. Selain sebagai ajang buka puasa bersama Kompasianer, ada hal seru yang berbeda dari tahun sebelumnya. Penasaran? Tunggu informasi selengkapnya!

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun