Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Konsultan

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Melanggengkan Silaturahim dengan Melupakan Utang

20 April 2022   16:25 Diperbarui: 20 April 2022   16:31 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melanggengkan Silaturahim dengan Melupakan Utang
Uang tidak dibawa mati, tapi bermanfaat di akhirat jika digunakan untuk membantu sesama. (Foto news.ddtc.co.id)

Disclaimer: melupakan utang bukan bagi orang yang berutang tapi untuk si pemberi utang.

Dalam kehidupan sehari-hari seseorang tak jarang terpaksa harus menghadapi kerasnya tantangan hidup. Terutama di bidang keuangan. Sehingga terkadang seseorang akhirnya harus melepaskan semua gengsi, malu, harga diri, dan kebanggaan dirinya untuk satu hal yang bernama utang.

Utang mungkin sudah ada sejak lama. Telah menjadi bagian dari kehidupan manusia dewasa untuk memenuhi kebutuhan hidup primer, sekunder, hingga tersier. Hingga akhirnya utang dilembagakan dalam berbagai bentuk. Di antaranya kredit tanpa agunan (KTA), pinjaman online (Pinjol), kredit usaha rakyat (KUR), pegadaian, kredit usaha, kartu kredit, kredit kendaraan bermotor, dan banyak lagi yang lainnya.

Dari semua pelembagaan bentuk utang itu, ada satu bentuk yang paling tajam memutus tali silaturahim. Yakni, utang pada teman atau saudara. Silaturahim yang merupakan bagian penting dari konsep hablum minannas banyak rusak karena masalah utang-piutang ini. Maka itulah kemudian, lembaga-lembaga utang menjadi mengemuka dan banyak digunakan.

Saat ini orang merasa lebih suka berurusan dengan lembaga utang daripada berurusan utang dengan teman atau saudaranya. Sebab, berurusan utang dengan lembaga utang dianggap lebih aman dari ancaman putusnya silaturahim dan masalah sosial lain yang disebabkan karena utang. Sebab, dari utang pada satu teman atau saudara, masalah yang timbul karena tidak mampu bayar utang akan merembet ke mana-mana.

Pemikiran itu tentu bukan sekadar asumsi semata, melainkan berdasar pengalaman nyata pada diri maupun orang lain yang terbelit utang pada teman dan saudaranya. Padahal, kondisi itu tidak perlu terjadi apabila seorang pemberi utang memiliki sifat dan sifat yang sesuai dengan ajaran Islam. Demikian juga dengan si penghutang harus juga memiliki pemahaman yang benar mengenai utang sesuai ajaran Islam.

Utang-Piutang dalam Aqidah Islam

Islam mengatur dengan rinci soal utang-piutang atau pinjam-meminjam harta. Rasulullah dalam sejumlah dalam berbagai hadist menyatakan utang merupakan tanggung jawab besar seseorang dan dosa bagi mereka yang tidak melunasinya. 

Rasulullah Muhammad bersabda: "Barangsiapa ruhnya berpisah dari jasad sedangkan ia terbebas dari tiga perkara ini, ia pasti akan masuk surga. Ketiga hal tersebut adalah terbebas dari sombong, khianat, dan utang," (H.R. Ibnu Majah).

Allah Subhanahuwata'ala juga mengatur utang dalam Al-Qur'an dengan tertib. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 280-283, hal utang di bahas mulai dari anjuran mencatat, pemberian jaminan, saksi dalam transaksi utang-pitang hingga keutamaan mengikhlaskan utang.

Allah dan Rasul-Nya menyatakan utang sebagai hal yang penting dalam hubungan antar manusia atau hablum minannas sehingga mengaturnya dengan sedemikian rupa. Karena memang pada akhirnya kita ketahui sendiri saat ini, masalah utang memang berdampak pada kehidupan dan hubungan antar sesama. Bukan hal mengherankan lagi jika seseorang tidak berhubungan lagi dengan teman atau saudaranya karena masalah utang.

Telah banyak sekali kita tahu betapa masalah utang telah memutus silaturahim pertemanan dan persaudaraan baik secara langsung maupun tidak langsung. Sementara utang seolah-olah menjadi satu perkara yang tidak bisa dihindari oleh seseorang. Sebab terkadang ada kebutuhan yang seseorang tidak mampu memenuhi dengan kemampuan harta dan uangnya, sehingga terpaksa harus berutang.

Bukan hanya untuk kebutuhan mendesak sehari-hari, utang juga sering terpaksa atau perlu dilakukan untuk bisa mengembangkan usaha. Banyak pengusaha sukses di bidangnya berawal dari ketekunan dan modal yang diperoleh dengan cara utang. Sehingga kesuksesannya bisa berdampak luas dan bermanfaat bagi orang-orang sekitarnya.

Untuk itulah masalah utang-piutang diatur dan dibolehkan oleh ajaran Islam. Dengan pengaturan tersebut diharapkan utang-piutang menjadi muamalah yang baik sehingga tidak mendatangkan kerusakan dalam hubungan antar manusia. Sebaliknya, justru dari utang-piutang itu diharapkan mendatangkan manfaat bagi sesama manusia dalam kehidupan di dunia maupun akhirat.

Kisah Singkat Utang Rasulullah dan Sultan Abdul Hamid - Turki 

Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam adalah utusan Allah yang memilih hidup tak berkecukupan. Bukan karena tidak memiliki kesempatan untuk menjadi seseorang yang hidup berkecukupan atau kaya raya, tapi memang memilih untuk hidup miskin di dunia. Tujuannya agar segala kebaikan bisa didapat di akhirat, dan kebaikan di akhirat itu bisa digunakan untuk menolong atau memberi syafaat pada umatnya.

Besarnya keinginan dan harapan itu sampai membuat Rasulullah hidup dalam kondisi yang kekurangan. Namun, Rasulullah tidak pernah mengeluhkan apa yang telah menjadi pilihannya. Hingga akhirnya banyak diketahui kisah mengenai Rasulullah pernah berutang pada seorang Yahudi di Madinah.

Atas utang itu, suatu hari Rasulullah pernah dihardik oleh seorang Yahudi di tengah keramaian agar segera membayar utangnya yang akan jatuh tempo. 

Saat itu, mendengar Rasulullah dihardik, sahabat Umar bin Khattab Radhiyallahu naik pitam. Umar bin Khattab refleks hendak menghajar Yahudi itu itu, namun segera dihentikan Rasulullah. Karena bagi Rasulullah wajar pemberi utang bertindak demikian, terutama karena dia seorang Yahudi yang tidak tahu adab utang-piutang dalam Islam.

Rasulullah kemudian memerintahkan sahabatnya supaya segera membayarkan utangnya pada Yahudi tersebut. Rasulullah juga memerintahkan agar sahabat tersebut menambahkan nilai dari utang itu karena Yahudi itu nyaris dihajar. Bukannya tersinggung karena dihardik di tengah keramaian saat ditagih utangnya, Rasulullah justru memberikan tambahan atas utangnya karena si penagih nyaris dihajar sahabat Rasul atas perlakuannya tersebut.

Si penagih utang Yahudi tadi akhirnya terkesan dengan akhlak dan perlakuan Rasulullah padanya. Bukan hanya segera membayar utangnya, Rasulullah bahkan menambahkannya karena perlakuan kasar sahabatnya dan tidak mempermasalahkan hardikannya saat menagih utang. Yahudi itu kemudian Yahudi itu menangis, lalu atas kemauannya sendiri masuk Islam.

Lain lagi kisah tentang utang Rasulullah dengan jaminan baju zirahnya pada seorang Yahudi. Utang dengan jaminan itu akhirnya dibayarkan oleh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu sepeninggal Rasulullah. Sehingga baju zirah Rasulullah yang dijadikan jaminan itu kembali pada menantunya tersebut.

Kisah utang juga diketahui dari Sultan Abd-ul-Hamid II. Dia sultan ke-34 Kesultanan Utsmaniyah dan sultan terakhir yang menerima kekuasaan absolut itu di dalam hidupnya kerap meminjam atau berutang uang pada seseorang sebesar 800 Lira. 

Sultan Abd-ul-Hamid II berutang uang karena pernah mendengar hadist Rasulullah bahwa selama seseorang berutang untuk sesuatu yang tidak disukai Allah, maka Allah Yang Maha Kuasa selalu bersama orang yang berutang itu sampai dia membayar utangnya. Demikian besarnya cinta Sultan pada Rasulullah dan Tuhannya sehingga tanpa malu sedikitpun dia mengamalkan utang sebagaimana sabda Rasulullah.

Keutamaan "Menyedekahkan" Utang Orang Lain

Jika Allah Yang Maha Kuasa membersamai orang yang berutang hingga orang itu membayar utangnya, maka dapat disimpulkan bahwa utang bukanlah hal yang buruk. Utang sebenarnya justru merupakan sesuatu yang baik selama untuk tujuan yang baik pula. Namun, ancaman Allah juga demikian besar bagi orang yang berutang dengan niat tidak akan membayar utang itu. Allah secara khusus membersamai seseorang yang berutang agar dapat segera mampu melunasinya.

Tapi sebaliknya, bagi orang yang berutang namun berniat tidak melunasinya, Allah mengancam orang tersebut dengan neraka di akhirat dan kehidupan yang tak nyaman di dunia. Orang demikian pantas dihukum di dunia dan akhirat karena telah melakukan kejahatan secara tidak langsung. Orang yang berutang namun tak berniat melunasi disamakan dengan pencuri.

Namun, untuk orang yang berutang dan berniat melunasi namun belum mampu, Allah berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 280. Yang tafsir artinya: "Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui".

Pada ayat ini Allah sesungguhnya memerintahkan pada umat Islam agar memberikan penangguhan waktu pada orang yang berutang padanya. Bahkan, Allah sesungguhnya memerintahkan seorang muslim untuk menyedekahkan utang orang lain padanya. Meski tidak diwajibkan melakukan hal yang itu, Allah telah memberikan keutamaan dalam membebaskan seseorang dari sebagian atau seluruh atas utang kepadanya dengan nilai sedekah.

Bahkan jika seorang muslim tidak mau menyedekahkan utang orang lain padanya, Allah akan mengganti piutang seseorang dengan pahala sedekah sepanjang waktu penundaan pelunasan diberikan. Jika telah lunas piutang, maka terputuslah pahala sedekah pada di pemberi utang.

Setelah Memberi Utang, Lupakan Saja

Anjuran melupakan utang ini khusus untuk mereka yang memberikan pinjaman atau utang pada orang lain. Sebagaimana disclaimer di atas. Dan anjuran ini tidak boleh dipakai orang yang berutang kepada pemberi utang dengan maksud agar terbebas atau tidak perlu membayar utang. Peringatan ini diperlukan, karena sekarang banyak orang menyalahgunakan nasihat hanya untuk kepentingan sendiri.

Melupakan setelah memberikan utang mestinya menjadi jalan tengah antara tidak mampu mengikhlaskan/ menyedekahkannya pada si pengutang, namun juga tidak mau menagihnya alias memberikan penangguhan atas utang tersebut. Melupakan telah memberikan utang pada orang lain adalah cara terbaik agar seseorang tidak tersiksa atas bantuan yang diberikannya pada orang lain.

Pada hakikatnya memberikan utang pada orang lain merupakan bentuk bantuan pada orang lain yang sedang membutuhkan. Dan kamampuan memberikan pinjaman atau utang tidak lain datang dari Tuhan. Tentu tidak akan mampu seseorang memberikan pinjaman atau utang pada orang lain jika Allah tidak memberikannya kemampuan. Baik kemampuan dalam hal materi maupun kemauan untuk memberi utang.

Melupakan utang yang diberikan pada orang lain memang terkesan tidak jelas, antara mengikhlaskan/ menyedekahkan utang tersebut atau sekadar memberi penangguhan saja. Memang lebih utama menyedekahkan/mengikhlaskannya. Tapi jika tak mampu melakukannya, melupakannya juga baik untuk menjaga hubungan dan silaturahim.

Namun, di atas semua itu semoga Allah memberikan kemampuan pada kita semua untuk bisa membantu orang lain tanpa utang. Atau memberi bantuan dengan status utang hanya untuk memotivasi. Maksudnya memberi utang pada orang lain tanpa niat menagihnya atau dengan niat mengikhlaskan/menyedekahkannya.

Semoga kita semua mendapat rezeki yang luas dari Allah Maha Kuasa. 

Wallahu'alam bishawab. (nra)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun