Berasal dari Keraton Solo, Sungkeman adalah Wujud Bakti dan Terimakasih kepada Orangtua
Ramadhan sudah memasuki hari-hari terakhir dan tentunya semakin mendekati hari kemenangan, yaitu Hari Raya IdulFitri.
Hari yang penuh berkah dan kebahagiaan.
Dalam kesehariannya, manusia tak lepas dari segala kesalahan yang dilakukannya baik secara disengaja maupun tidak disengaja.
Dalam kesehariannya, kendati sudah menahan sabar. Akan tetapi tak pelak kemarahan muncul juga dan menyakiti orang lain. Penyesalan pun datang.
Oleh karenanya, momen IdulFitri ini merupakan hari yang berbahagia dimana umat Muslim saling maaf memaafkan, bersilaturahmi kepada kedua orangtua, sanak saudara, kerabat, dan kenalan.
Karena sudah saling memaafkan maka kita menjadi bersih lagi, suci kembali, fitri lagi.
Setelah semalam takbiran, pagi hari umat Muslim sholat Ied di lapangan atau mesjid. Sesudahnya mereka pulang ke rumah, dan mereka yang pertama dihampiri adalah orangtuanya.
Mereka sungkem kepada ayah, ibu, yang sebagai wujud bakti dan terimakasih kepada mereka.
Lantas dilanjutkan kepada anggota keluarga lainnya yang lebih tua, kakek, nenek, atau kakak.
Mereka mencium tangan ayah, ibu, kakek, nenek, atau kakak sebagai tanda memohon maaf atas segala kesalahan yang sudah dilakukan sejauh ini baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Sungkeman yang dalam bahasa Jawa bermakna tanda bakti atau sujud dan sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua itu tak pelak terjadi pada momen Hari Raya IdulFitri atau pernikahan.
Dalam pernikahan, kedua mempelai memohon restu kepada kedua orangtuanya untuk membina rumah tangga kelak.
Sungkeman juga bisa menjadi wujud nyuwun ngapura.
Dalam bahasa Jawa nyuwun artinya meminta atau memohon. Ngapura yang berasal dari bahasa Arab ghafura maknanya tempat pengampunan.
Dari manakah asal mulanya tradisi Sungkeman ini berasal?
Dari beberapa sumber ditemukan jika tradisi menghormati mereka yang lebih tua itu berasal dari Mangkunegara ke I.
Mangkunegara ke I yang dijuluki dengan Pangeran Sambernyawa tersebut pada waktu itu menggelar pertemuan, mempertemukan raja dengan para prajuritnya di Balai Istana selepas sholat Ied.
Nah, pada saat itu mereka saling maaf memaafkan di antara mereka dengan Sungkeman kepada raja, Mangkunegara ke 1 dan antar punggawa.
Apa yang dilakukan Mangkunegara ke 1 itu lantas diikuti dan ditiru oleh organisasi-organisasi Islam.
Lantas tradisi itu dibarengkan dengan acara halalbihalal yang dilakukan antar kelompok atau komunitas, perusahaan, lembaga atau keluarga.
Jadi dengan demikian, tradisi Sungkeman sebagai simbol penghormatan kepada orang yang lebih tua itu adalah campuran dari budaya Jawa dan Islam. Menurut budayawan senior Universitas Gadjah Mada, Dr. Umar Khayam.
Mangkunegara ke 1 yang disebut-sebut di atas adalah pendiri dari Kadipaten Mangkunegaran. Oleh karenanya beliau disebut juga sebagai Adipati Mangkunegaran ke 1.
Adipati Mangkunegaran ke 1 lahir dengan nama Raden Mas Said, di Solo pada 7 April 1725.
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara ke 1 ini dijuluki Pangeran Sambernyawa. Julukan yang diberikan oleh Nicolas Hartingh, seorang perwakilan VOC.
Hal tersebut lantaran Mangkunegara ke 1 selalu membawa kematian bagi lawan-lawannya.
Jika Anda seorang pemerhati sepakbola, Anda tentunya tahu julukan dari klub sepakbola Persis Solo. Klub yang dimiliki putra presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, itu adalah Laskar Sambernyawa.
Pada saat terjadinya gejolak di Nusantara, tradisi Sungkeman ini sempat terhambat karena Belanda mengganggap kumpul-kumpul Sungkeman itu dianggap sebagai penggalangan massa untuk melakukan perlawanan kepada Belanda.
Setelahnya tradisi Sungkeman itu menyebar ke seluruh Indonesia, Sungkeman menjadi sebuah kebudayaan baru di kalangan masyarakat Indonesia.