Ramadan Buat Sinten
"Ya jangan kawatir. Nanti kalau senggang aku tengoknya. Kamu sudah sarapan ?"
"Aku puasa Mak. Tadi sudah makan sahur."
"Ooooo, ya sudah. Belajar yang rajin."
"Iya mak." Gadis itu mencium tangan ibu muda tetangganya.
Wanita setengah baya itu memandang si gadis melangkahkan kakinya ke sekolah. Ada rasa iba menyentuh hatinya. Namun iapun tak kuasa banyak membantu.
Gadis itu agak bergegas melangkahkan kaki. Ia takut datang terlambat. Meski pagi itu sinar mentari menyapa dengan ramah. Angin semilir dingin membelai. Semua tak menyentuh rasanya.
Sering kali dalam situasi begini ia selalu ingat emaknya. Dialah yang selalu meringankan beban hidup. Setiap bulan mengirimi uang. Dari hasil kerja di negeri orang.
Namun hampir enam bulan kebiasaan itu tak berlanjut. Musibah datang menimpa emaknya. Ia kini masuk penjara. Karena tuduhan hendak membunuh majikannya. Gara-gara menodongkan sebilah pisau, saat lelaki majikannya itu tengah malam masuk kamarnya.
Bapaknya pergi entah kemana. Secuil kabar tak pernah terdengar. Sejak ia pergi setahun yang lalu, setelah cekcok besar dengan emaknya, tak pernah sekalipun menengok dirinya.
Tak heran jika kini gadis itu tak ceria seperti dulu lagi. Tatapan matanya tak berbinar. Semakin hari semakin redup. Mata itu sering melayang menatap jauh. Otaknya tak tahu apa yang dipikirkannya.. Wajahnya kehilangan sinar, senyum manisnya juga memudar.
Perubahan itu tak lepas dari perhatian gurunya. Bu Kurnia, wali kelasnya, sering kali memandanginya saat belajar. Beliaupun telah periksa hasil ujian harian si gadis. Ia bertanya dalam hati. Kenapa prestasi belajar Sinten, semakin mundur. Apa ada masalah dalam keluarganya ? Ia tak tahu. Bu guru itu ingin menyelidikinya.