Ramadan Buat Sinten
Gadis itu menatap wajah neneknya. Ada rasa sedih yang bergelayut dalam hatinya. Wanita tua itu kini satu-satunya tempat bergantung. Teman berbincang, mencurahkan segala rasa yang tengah menjerat hati.
Tapi kini wanita itu menggeletak tak berdaya. Dua hari demam tinggi. Gadis itu tak tahu, penyakit apa yang tengah diderita. Semua saran tetangga telah dicoba. Terakhir memberinya minum air kelapa muda.
"Mudah-mudahan beliau lekas sembuh." Batin gadis itu.
Tugasnya pagi ini untuk neneknya telah ia tunaikan. Menyeka seluruh kulit keriput itu dengan air hangat. Menyisir rambutnya dan menggelungnya. Kemudian menyuapinya dengan bubur kacang hijau kesukaannya.
Setelah sarapan, ketika si nenek mulai memejamkan matanya, gadis itu beranjak pergi meninggalkannya. Ia sendiri sejak subuh sudah kenakan seragam sekolah. Bergegas ia ambil tas dan bukunya. Sebelum ke sekolah ia mampir dulu ke rumah tetangga.
"Bagaimana nenekmu ? Sudah mendingan belum ?" Tanya ibu muda yang sering menolongnya ketika remaja SD itu datang ke rumahnya..
"Sudah agak turun demamnya. Air kelapa mudanya mujarab Mak." Jawabnya.
"Semua keluargaku kalau demam obatnya itu. Pergi ke dokter biayanya berat. Orang-orang seperti kita tak mampu memenuhinya."
Gadis itu menunduk.
"Titip nenek ya Mak. Aku berangkat sekolah."
"Ya jangan kawatir. Nanti kalau senggang aku tengoknya. Kamu sudah sarapan ?"
"Aku puasa Mak. Tadi sudah makan sahur."
"Ooooo, ya sudah. Belajar yang rajin."
"Iya mak." Gadis itu mencium tangan ibu muda tetangganya.
Wanita setengah baya itu memandang si gadis melangkahkan kakinya ke sekolah. Ada rasa iba menyentuh hatinya. Namun iapun tak kuasa banyak membantu.
Gadis itu agak bergegas melangkahkan kaki. Ia takut datang terlambat. Meski pagi itu sinar mentari menyapa dengan ramah. Angin semilir dingin membelai. Semua tak menyentuh rasanya.
Sering kali dalam situasi begini ia selalu ingat emaknya. Dialah yang selalu meringankan beban hidup. Setiap bulan mengirimi uang. Dari hasil kerja di negeri orang.
Namun hampir enam bulan kebiasaan itu tak berlanjut. Musibah datang menimpa emaknya. Ia kini masuk penjara. Karena tuduhan hendak membunuh majikannya. Gara-gara menodongkan sebilah pisau, saat lelaki majikannya itu tengah malam masuk kamarnya.
Bapaknya pergi entah kemana. Secuil kabar tak pernah terdengar. Sejak ia pergi setahun yang lalu, setelah cekcok besar dengan emaknya, tak pernah sekalipun menengok dirinya.
Tak heran jika kini gadis itu tak ceria seperti dulu lagi. Tatapan matanya tak berbinar. Semakin hari semakin redup. Mata itu sering melayang menatap jauh. Otaknya tak tahu apa yang dipikirkannya.. Wajahnya kehilangan sinar, senyum manisnya juga memudar.
Perubahan itu tak lepas dari perhatian gurunya. Bu Kurnia, wali kelasnya, sering kali memandanginya saat belajar. Beliaupun telah periksa hasil ujian harian si gadis. Ia bertanya dalam hati. Kenapa prestasi belajar Sinten, semakin mundur. Apa ada masalah dalam keluarganya ? Ia tak tahu. Bu guru itu ingin menyelidikinya.
Guru yang lembut dan cantik itu bertandang ke rumah Sinten, muridnya. Namun gadis itu tidak di rumah. Tetangganya yang menemuinya.
"Neneknya sedang sakit Bu.:"
"Woo, sudah di bawa ke dokter ?"
"Boro-boro ke dokter. Buat makan sehari-hari juga tidak menentu."
"Orang tuanya ke mana ?"
"Mereka berpisah. Ibunya jadi TKI. Tapi malang nasibnya, ia kena musibah. Sekarang masuk penjara. Ayahnya pergi, tak tahu kabar beritanya. Kini Sinten hidup berdua dengan neneknya."
Bu guru itu mengangguk-anggukkan kepala.
"Sekarang dia pergi kemana ?"
"Ke rumah Pak Kambali, juragan tape di desa ini. Ikut membantu mengupas kulit ketela. Bayarannya buat beli beras. Biasanya jelang magrib sudah pulang."
"Jadi pulang sekolah ia langsung kerja ?"
"Iya siapa lagi yang menanggung hidupnya, kalau nggak begitu ? Ia menggantikan kerja neneknya."
Bu guru Kurnia setelah pamit bergegas pulang. Ia sudah tahu beban hidup yang disangga muridnya itu. Cerita hidup Sinten akan ia bawa ke sekolah. Untuk menyentuh hati murid-muridnya.
Tanpa sepengetahuan Sinten, Bu Guru Kurnia berhasil mengetuk hati siswa-siswinya. Mereka sepakat satu persatu bergantian berkunjung ke rumah Sinten. Serta tak lupa membawa takjil untuk kawan berbuka dan sahur gadis itu dan neneknya.
Sejak itu setiap sore, lepas magrib, selalu datang seorang tamu ke rumah Sinten membawa makanan. Mereka adalah teman-teman gadis itu di sekolah.
Kehadiran mereka atas saran ibu gurunya. Pesannya, di bulan Ramadan agar mereka lebih banyak berbagi. Terutama kepada kawan dekatnya, yang tengah terlilit beban hidup.
Kini wajah Sinten tak murung lagi. Cahaya mukanya lebih sumringah. Temannya datang bawa oleh-oleh, nasi sayur lengkap dengan lauknya. Makanan itu menemaninya saat berbuka dan sahur di bulan Puasa.
"Alhamdulillah."kata neneknya. Sinten mengangguk, mengamininya.
Meski mereka hidup susah, namun tak banyak berharap program makan gratis dari pemerintah. (Wahyudi Nugroho).
Bendo, 21 Maret 2024