Yuni Akbar
Yuni Akbar Guru

Yuni Akbar adalah pemerhati dialektika bahasa dalam ranah logika sosial, psikologi dan pendidikan. Penggiat Gerakan Literasi. Dan sebagainya.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Obrolan Seru di Kelas: Puasa dan Beras Nasional

26 Maret 2023   12:15 Diperbarui: 27 Maret 2023   21:29 1145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Obrolan Seru di Kelas: Puasa dan Beras Nasional
dok. pribadi

Mungkin akulah satu-satunya orang yang selalu merasa tersinggung tiap akhir bulan Sya'ban atau menjelang bulan Ramadhan. Mengapa? Karena tiba-tiba banyak mini market memajang kardus-kardus roti dan sirup bersusun-susun di depan tokonya. Begitupun supermarket, di pintu masuk kardus bergunung-gunung. Belum lagi berita di TV pemerintah mengumumkan bahwa stok makanan dipastikan cukup sepanjang bulan puasa. Logikanya bagaimana? Bukannya selama bulan puasa orang tidak makan dan minum? Makannya hanya 2x sehari, maghrib dan sahur? Mengapa seakan-akan di bulan puasa justru orang  makin banyak memerlukan makanan?

Suatu saat pernah aku obrolkan hal ini bareng siswa di kelas 12, "Kalian tahu ndak kenapa kalau menjelang puasa mini-market apa toko apa pasar tiba-tiba stok makanan bergunung-gunung? Padahal hari-hari biasa kan tidak?"

"Soalnya kalok pas puasa orang makannya jadi banyak!!" jawab beberapa sambil bercanda.

"Lho kok puasa makannya malah banyak?" tanya saya lagi.

"Soalnya kalok pas buka pinginnya makan teruss...!" jawab salah satunya diiringi gelak tawa yang lain.

"Kok bisa?" tanya saya lagi.

"Soalnya balas dendam....!!" jawab mereka gemuruh diiringi tawa. Aku senang dengan suasana seperti ini.

"Memangnya harus begitu, ya? Kelaparan banget?"

"Enggak sih, Bu. Tapi ndak tahu lihat orang pada makan jadinya ya pingin makan juga."

"Di masjid suka ada takjil, kan? Ada nasi bungkus juga?" lanjutku.

"Ya, ambil juga kadang dibawa pulang...hahaha....!" lagi-lagi gelak tawa pecah.

"Kan di rumah sudah ada? Kenapa ambil juga?"

"Lauknya lain, Bu? Kadang lebih enak yang nasbung..!"

"Ah itu sih iseng..." Aku ikut tertawa, "ndak menghargai masakan ibu dong."

"Kalok aku biasanya ambil dua, persiapan buat sahur. Soalnya aku ngekos," itu kalimat deklaratif Ahmad yang duduk di depan.

"Kalok kamu, Zal?" pertanyaanku tertuju pada Rizal yang duduk di sebelah Ahmad.

"Aku ndak dibolehin Bapak ngambil nasbung. Katanya makan di rumah aja. Itu buat dhuafa!" jawab Rizal yang disambut gelak tawa sekelas. Wajah Ahmad tampak sedikit tersinggung. Aku mengalihkan pembicaraan.

"Menurut kalian, apalagi selain orang banyak makan. Maksudnya kenapa tiba-tiba makanan melimpah gitu?"

"Buat unjung-unjung, Bu!" suara cempreng Salsa menyahut yang disambut gelak tawa berikutnya.

"Sal, aku mau kau unjungi-unjungiii...!" teriakan Adi dari baris belakang.

"He...! Bukannya kamu nanti yang unjung-unjung sambil bawa seserahan?!!" hahahaa...!!! pecah tawa seisi kelas mendengar teriakan Berto diiringi ucapan amin dari beberapa siswa lain. Wajah Salma langsung berlipat. Tangannya bersedekap.

"Eh, Salma, jangan begitu. Jodoh tak tahu kemana, lho." Kulirik Salma jenaka.
"Ndak mauuuuu....!" seringainya. Wah, ini nanti suasana bisa panas. Harus dihentikan.

"Coba kalian lihat apa sih tujuan puasa? Bagaimana orang berbuka, sahur? Kita bahas tentang makan sesuai syariat, kesehatan, budaya, dan apa saja, ya. Pokoknya kaitannya dengan makan."

            Aku memberi waktu beberapa saat untuk mereka mencari segala hal yang berkaitan dengan makan. Di kelas 12 ini kebetulan semua siswanya muslim. Tapi misalnya ada yang tidak muslimpun, pengetahuan tentang makan ini sangat universal terutama kaitannya dengan kesehatan. Setengah jam kemudian aku buka diskusi kelas.

"Kita mulai dari syariat dulu, ya? Yang mau menyebutkan ayatnya boleh, haditsnya juga boleh atau pendapat ulama, boleh juga. Kalian tidak usah merasa enggan ya kalau biacara tentang dalil. Kan itu bukan pendapat kalian sendiri, jadi sebutkan saja." Aku memotivasi kelas agar diskusi bisa ramai seperti tadi. Tapi kalau topiknya sudah tentang keilmuan biasanya diskusi jadi seret, apalagi tentang agama. Sama seperti orang dewasa yang suka merasa kurang ilmu atau takut dianggap sok tahu, siswa kelas ini pun begitu. Bisa dipastikan kalau ada satu saja siswa yang sering kelihatan membaca al Quran di kelas atau membahas agama, dia akan dipanggil ustadz. Bisa jadi ini sekedar candaan tapi mungkin efeknya akan membuat jengah yang dituju.

"Ada yang sudah menemukan sumbernya?" tanyaku.

"Makanan yang baik-baik, Bu," terdengar suara Aldi agak ragu.

"Bacakan dan sebutkan sumbernya," jawabku.

"Thaha ayat 81, Bu. Makanlah yang baik-baik dari rezeki yang telah Kami  berikan kepadamu dan janganlah kamu melampau batas, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Barangsiapa ditimpa kemurkaan-Ku, maka sungguh binasalah dia."

"Bagus sekali," pujiku karena suaranya yang lantang berbeda saat pertama dia menjawab.

"Kalian bingung ndak dengan kalimat 'menyebabkan kemurkaan-Ku'?" tanyaku selanjutnya. Beberapa siswa menggelengkan kepalanya sambil tetap menatap hape masing-masing.

"Sambil kalian cari tafsirnya, ada yang ketemu ayat lainnya?"

"Banyak, Bu!" Irfan menjawab.

"Sebutkan satu saja."

"An Nahl ayat 4, Bu! Tapi panjang ayatnya!" jawab Fito.

"Bacakan saja."

"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Yang dihalalkan bagimu adalah (makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan-Nya."

"Yang lain coba cari tafsirnya ya, terus asbabun nuzulnya dibaca juga."

"Ada yang dapat dari hadits?" lanjutku.

"Saya, Bu!" Ghulam mengajukan diri, "Wahai Ghulam," baru saja dia  mulai membaca, kelas sudah riuh, "Makanya ini tak baca wong ada namaku!" serunya sambil dengan bangga menyapukan pandangan ke seluruh kelas," setelah suara riuh mereda dia melanjutkan, "bacalah Bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu."

"Bagus. Itu alamat linknya apa?" tanyaku.

"tugas-agama-kelas-tujuh!" jawabnya. Hahahha....!! Serentak kelaspun dipenuhi gelak tawa! Ini kelas 12 kenapa yang diambil sumber kelas 7?

"Itu haditsnya shahih. Tapi lebih baik cari alamat yang lebih bisa dipercaya. Bukan apa-apa, takutnya kalau adik kelasmu itu salah ketik," aku berusaha melindungi  Ghulam.

"Oh, ya, biar bahasannya ndak kemana-mana coba ikuti clue yang Bu Yuni berikan, ya."

          Aku minta siswa untuk fokus mencari keterkaitan antara ayat atau hadits tentang perilaku makan dan kesehatan tubuh. Bahasan dilanjutkan dengan sikap tidak berlebihan dan pengeluaran pada keluarga. Lalu dikaitka pula dengan sikap konsumtif dan kondisi perekonomian secara lebih luas. Atau apapun yang bisa mereka analisa. Untuk kegiatan ini aku minta siswa menulis analisisnya boleh di kertas, boleh langsung di perangkat mereka. Melihat siswa tenang dengan gadgetnya dalam mengerjakan tugas kadang membuatku terharu. Sambil berkeliling aku lihat secara random progres pekerjaan mereka. Sebetulnya kalau guru memberi kepercayaan pada siswa, hasil yang didapat kadang diatas ekspektasi. Walaupun kebanyakan analisis mereka masih mentah karena wawasan keilmuan dan pengalaman hidup yang masih butuh banyak belajar.

Satu jam pelajaran berlalu dan mereka semua sudah selesai mengerjakan. Hasilnya di kirim ke google form dalam bentuk file atau image. Sambil menunggu waktu selesai, beberapa aku minta untuk membacakan hasilnya di depan kelas.

         Menurut aku, berpuasa itukan harus menahan diri dari apapun khususnya makan dan minum. Dalam hadits dikatakan makan jangan berlebihan. Selama ini puasa kayanya dianggap bukan sebagai perilaku hemat tetapi malah cenderung boros. Orang yang makan dua kali kenapa butuh makan lebih banyak dari mereka yang makan tiga kali sehari. Menuruku kalau pas buka itu tidak perlu macam-macam. Sama seperti hari biasa ketika makan. Minum dan makan secukupnya. Jadi uangnya bisa dihemat untuk disedekahkan.

        Teman-teman, ini hasil hitungan aku sama Rara. Berdasarkan pengeluaran keluarga perhari. Pas hari biasa mama biasa nanak beras 1,5 kg. Jadi sebulan 45 kg. Pas puasa mestinya mama bisa masak 1 kg saja. Jadi sebulan 30 kg. Nah, aku tuh mikir, di RT-ku ada 35 keluarga. Ya, aku tahu kan aku bantu-bantu mama kalo pas arisan. Maksud aku kalo tiap keluarga rata-rata pengeluaran perhari 45 kilo menjadi 30 maka satu RT bisa menghemat beras 15 kali 25 dong. 375 kg. Wah, gede banget ya? Nah, tadi aku ngeklik jumlah warga Semarang ternyata 1,6 juta jiwa. Setengahnya saja menghemat beras di bulan puasa maka akan ada 24 ribu kilo beras dihemat. Terus aku ngeklik lagi jumlah penduduk Indonesia 2023, ternyata ada  273 juta orang. Aku cuma ngawur ngitung aja, sih. Andaikan setiap rumah ada 4 orang, maka 273 dibagi 4 jadi 68.250.000. Terus kalikan 15 kilo. Hasilnya 1.023.750.000. Buesar sekali, ya? Kan katanya Indonesia suka ngimpor beras, tuh. Aku ngeklik impor beras tahun 2022 ketemu 301.700.000. Lhah, kan bisa ditutup dengan penghematan. Berarti ndak usah impor dong.

Begitulah Salsa dan Rara menghitung versi analitis mereka. Ini baru beras, belum gula tepung, kedeleai, dan komoditas lainnya. Betapa besarnya kontribusi puasa di bulam Ramadhan terhadap ekonomi negara. 

Tetapi siapakah pejabat pemerintah yang akan membuka masyarakat terhadap kenyataan ini? Siapakah pejabat negara yang mau menjadi teladan pelaku puasa dengan benar? Betapa besarnya kontribusi puasa di bulan Ramadhan terhadap ekonomi negara. Jangan-jangan kebutuhan pangan masyarakat sengaja di frame tinggi untuk menjaga cuan para importir dan kaki tanyannya.

Pahamkan sekarang kenapa diawal aku mengatakan tersinggung?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun