RAMADAN

Ketika Agama Serupa Pil Ekstasi di Grup WhatsApp

20 Maret 2024   23:33 Diperbarui: 3 April 2024   15:57 1201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika Agama Serupa Pil Ekstasi di Grup WhatsApp
Diskusi Lintas Agama (sumber gambar: antara.com)

Saya sepakat dengan saran dari kawan. Saat tebar pesona tulisan seseorang, usahakan hindarilah mencap penulis atau tokoh pemikir jika belum kenal secara bulat riwayat hidupnya. Berdiskusi tidak gampang di ruang WA karena apa isi kepala yang satu belum tentu sama dengan isi puluhan hingga ratusan anggota grup.

Tadinya, saya cuma membayangkan diskusi di bidang pemikiran atau penafsiran atas teks agama. Lalu, diskusi agama berkembang ke arah lain. Diskusi ditarik ke soal laknat-laknatan Tuhan jika menghambat dakwah. 

Saya salah menduga. Saya kira diskusi agama sekitar halal haram, surga neraka hingga soal gamis bin jubah. Saya pikir yang diskusikan soal mengapa tidak pakai jenggot.

Jika sudah berjenggot, pria muslim dianggap belum syar'i. Belum lengkap katanya jika bercelana jingkrang. Terus, apalagi setelah jingkrang? Setiap bid'ah dalalah, setiap dalalah neraka tempatnya. Kita pun bisa sesak nafas dibuatnya.

Memangnya agama hanya soal jingkrang dan bid'ah. Karena tidak ada tuntunannya, ada pihak yang menolak organisasi. Ia tidak ada di zaman Nabi. Absen di zaman para sahabat. 

Terus, mengapa ada oknum yang aktif sebagai Aparat Sipil Negara (ASN)? Bukankah di pemerintahan ada organisasi perangkat daerah?

Masalahnya juga, mengapa sekalian naik onta karena berkendaraan roda empat hingga pesawat terbang tidak ada di zaman Nabi. Apakah semuanya masuk ke wilayah ibadah dari perkara dunia?

Itulah mengapa ruang diskusi di WA penuh warna-warni. Anda anggap salah, saya anggap benar. Tergantung darimana kita melihatnya. 

Istilahnya, jika hanya memakai kaca mata kuda, saya yakin, penilaian seseorang terhadap masalah hanya satu arah. 

Padahal agama dilihat dari berbagai arah. Diskusi agama mesti multipersfektif. Coba kita melihat bak di atas puncak gunung. Segala arah relatif bisa dilihat.

Bayangkan saja, orang sesekali membaca tulisan tentang pemikiran Islam dari tokoh tiba-tiba mencap agen sekuler. Diskusi dan diskusi. Barang satu jam diskusinya lantaran jika tidak dibatasi bisa tembus pagi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun