Ketika Agama Serupa Pil Ekstasi di Grup WhatsApp
Ada bestie yang corak berpikirnya masih itu saja. Bagus juga, prinsipnya biar zaman berubah, keyakinan tetap kokoh. Ajeg jadinya.
Akan ketahuan jika seseorang yang hanya satu arah sudut pandangnya, ujung-ujungnya soal hitam putih kesimpulannya. Sedikit-sedikit tidak boleh di sini dan di sana.
Seseorang bahkan meminta kita beristigfar lantaran perkara pokok atau rambu-rambu agama dilabrak. Bagi pihak yang hanya melihat sesuatu secara kaca mata kuda, tidak ada istilah konteks-konteksan dan penafsiran baru.
Sudah berapa angkatan diskusi. Anggaplah sekarang, angkatan ke-5 diskusi di grup WA, tetapi masih berputar-putar pada hitam putih, tidak boleh ini dan itu.
Banyak sisi yang perlu kita pelajari. Dari masa ke masa pasti sesuatu yang mengalir. Seseorang memang jago berapologi, yang setiap saat dianggap penting setidaknya pembelaan atau pembenaran atas suatu masalah.
***
Saya mulai nge-chat sebuah petikan. "Aku tenang ketika aku tidak melihat keburukan orang lain, tapi aku gelisah karena keburukan itu ada di dalam diriku sendiri." Petikan ini dari Ibnu Arabi.
Tanggung muncul celutupan dari profesor muda. Profesor Hadi tepatnya. Apa komentarnya? "Dahsyatullah ...! Jadi pengantar tidur," ujarnya.
Saya membalasnya. "Uhuyy Prof!
Kita (sebagian kecil alumni IMM) lebih mundur dari masa kejayaan alias zaman keemasan dunia Islam di abad 8-13 M (teologi/kalam, fiqih, filsafat, sains, tasawuf, dan sebagainya). Kita tahu, salah satu gembong sufi adalah Ibnu Arabi.
Layaknya balas bergantung. Profesor Hadi berkomentar kembali. "Sains bergerak maju dengan pola search-re-search, teruuuus. Maka paham agama tidak boleh mundur, atau jumud. Ntar...putus dulu diskusinya. He he."