Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Administrasi

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Di Sana Sarung, di Sini Sarung

14 Mei 2020   20:48 Diperbarui: 14 Mei 2020   21:09 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di Sana Sarung, di Sini Sarung
Sarung Flores yang dijereng (dok.Gana)

Hari sudah mulai temaram, Gendis sudah rampung berdandan seusai berenang di kolam hotel. Sudah waktunya makan malam, perut sudah terasa lapar. Suaminya usul supaya mereka pergi ke pasar Ujung atau pasar malam Kampung Ujung saja. Seperti namanya, tempat ini layaknya ujung dari sebuah jalan atau kampung. Di seberang tenda-tenda, berjajar ruko-ruko. Daerah yang berdekatan dengan Jl.Soekarno-Hatta itu memang penuh tanda-tanda kehidupan.

Sengaja mereka berjalan kaki dari penginapan menuju pasar, supaya tak susah mencari tempat parkir dan lebih sehat. Apalagi menikmati keramaian pasar itu sesuatu. Lihatlah bagaimana para pedagang merapikan deretan seafood yang berhasil ditangkap para nelayan. Secercah senyum di sana, mengharap rejeki akan segera tiba. Pandanglah bagaimana para anak membantu orang tuanya yang berjualan, serasa teduh di hati. Cinta anak tak harus sepanjang galah.

Gendis tetap memegang tangan suaminya. Bukan takut suaminya yang bule disambar orang. Gendis hanya takut tubuhnya yang mungil akan hilang di antara orang-orang yang berlalu-lalang. Tumpah-ruah para penjual souvenir sampai turis lokal dan manca negara bisa memicu  histeria.

Ah, hari yang betul-betul ramai sekali. Maklum, meski pasar baru buka jam 5 sore, sejam kemudian pasar malam sudah sesak. Iyalah, namanya malam minggu.

Setelah riwa-riwi melewati deretan warung, Gendis dan suami balik lagi ke warung tenda paling tengah. Di sana, ikannya lebih banyak, warna-warni dan besar-besar. Yang paling penting, tempatnya sepi dan bersih.

"Di sini saja, ya pak, makannya." Gendis memilih kursi plastik warna merah muda.

"Aku ora popo." Namanya laki-laki, tak ingin ribet. 

Mereka pun mulai memesan minuman. Si ibu pemilik warung membuatkan dua jeruk hangat manis untuk Genduk dan suami. Kemudian, meminta mereka untuk memilih ikan mana yang akan disantap.

Ikan red snapper, kerapu, cakalang, udang, ekor kuning, cara, cumi-cumi, tripang, lobster? Itulah pesona wisata bahari Labuan Bajo. Silakan saja untuk minta dibakar atau digoreng.

Genduk dan suami serasa kalap. Mereka memesan 5 jenis ikan; satu lobster, satu cumi-cumi besar, satu udang, satu red snapper, dan kerapu ditambah lalapan, sambal dan dua piring nasi putih.

Si penjual tersenyum, barangkali membayangkan ikan-ikan itu tak sanggup masuk perut tapi nanti dibungkus rapi dengan kertas minyak untuk dibawa pulang sebagai doggy bag.

Saking banyaknya pesanan, bakaran ikan membutuhkan waktu cukup lama untuk dihidangkan. 

Sembari menunggu, mereka berbincang-bincang. Ohhh, ternyata ada tamu yang tak diundang. Tiga orang laki-laki yang membawa dagangan sarung mendekati meja mereka.

"Sarung, Mister. Suka warna apa?" Penjual bertopi lusuh mengulurkan sebuah sarung warna hijau.

"Nggak mau. Aku mau makan." Suami Genduk menggelengkan kepala. Tujuannya ke pasar Ujung memang bukan untuk belanja.

"Kasihan, Mister, belum ada yang terjual. Untuk beli kado lebaran anak-anak bulan depan." Penjual berbadan gembul merangsek ke tubuh si bule.

"Iya, Mister, satu saja belinya nggak papa, biar bisa setor juragan." Tambah penjual satunya yang berbadan kerempeng.

"Nggak." Si tamu berbadan besar itu tetap keras kepala.

"Ih, kasihan, pak. Jangan pelit, ah. Aku beli, ya. Satu orang satu, nggak papa, kan." Genduk memandangi wajah-wajah penjual yang lesu karena suaminya tetap tak niat membeli sarung. Rasa kasihan menyelimuti hatinya. Jika seharian tidak laku, nanti keluarganya makan apa? Itung-itung ibadah, sebentar lagi bulan ramadan.

Sarung-sarung mulai dijereng penjual, demi mempermudah calon pembeli melihat motif dan warna sarung yang ada. Tangan-tangan Genduk mulai menarik beberapa helai sarung yang mempesona. Kuning, hijau, pink, biru, merah, oranye .... Yang tadinya rencana beli 3, jadi 6 sarung.

Dasar perempuan cerdik, Genduk menawar harga yang diajukan pedagang Rp 100.000,00 satu sarung menjadi Rp 50.000,00. Perempuan itu tahu, andai membanting harga separohnya dan tidak dikasih, tak masalah. Karena sebenarnya, Genduk tak butuh sarung tapi ingin membantu melariskan barang dagangan saja. Dan lagi, waktu menilik bakaran ikan tadi Genduk sempat berbisik-bisik dengan ibu yang sedang membakar ikan untuk menanyakan berapa harga pasaran normal sarung Flores. Si ibu mengatakan Rp 50.000,00 sudah bagus.

Transaksi berakhir, para pedagang bergegas meninggalkan warung dan memburu turis-turis yang baru saja keluar dari mobil menuju warung sebelah. Mereka pergi tanpa diantar.

"Buk, siapa yang sunat?" Suami Genduk bertanya. Pandangan matanya menuju sarung yang dilipat Genduk, masuk ransel. 

Ia belajar mengamati ketika  tinggal di Indonesia, bahwa sarung dipakai untuk sholat, ke masjid, di rumah saat santai atau saat sunatan. Sarung adalah pakaian yang biasa dipakai kaum pria ketimbang laki-laki. Meski ia tahu sebentar lagi bulan puasa, sarung banyak dicari, tetap saja ia heran ketika istrinya beli. Bukankah Genduk berjenis kelamin perempuan dan tak pernah pakai sarung?

"Sunat? Nggak ada." Genduk mengernyitkan dahi. Setahunya, tak ada cerita saudaranya ada yang akan khitan.

"Kok, belinya banyak, kayak mau ada yang sunat." Pria ganteng itu memprotes panic buying yang terjadi di depan matanya tadi.

"Ya, kan murah dan bagus. Kuning, pink, oranye sama hijau untukku. Sisanya oleh-oleh buat bapak dan kakak.  Kalau di rumah, bapak pakai sarung dan kakak rajin sembahyang ke masjid. Biar nanti kakak makin semangat sholat lima waktunya. Kamu lupa, ya? Bapak sebentar lagi mau ulang tahun. Lagian, tadi kan harganya 100 ribu, aku sudah bisa turunin 50 ribu, berarti kalau tadinya mau beli 3 dapat 6, dong. "Genduk membela diri.

"Yaaaa, tiga, memangnya tubuh kamu bisa bikin kloningan? Satu saja kenapa sih, yang pink saja kek, warna kesukaanmu." Si pria tetap saja tak paham pola pikir istrinya.

Untung saja, si ibu sudah selesai membakar ikan. Bau harum dari pembakaran semakin mengundang selera. Makan seafood murah tapi tidak murahan, tak kalah dengan restoran hotel berbintang. Rasanya nendang, harganya bisa digoyang. Topik sarung dipetikemaskan, saatnya makan. 

Menit demi menit melesat bagai anak panah lepas dari busurnya. Genduk membelalakkan mata, tak percaya melihat piring-piring di depannya kosong! Bagaimana mungkin makanan yang seharusnya disantap sekeluarga itu habis dimakan dua orang saja? Luar biasa, seperti seharian berpuasa saja padahal itu hari biasa. Bukannya puasa masih besok?

Uang rupiah berpindah tangan dari Genduk ke pemilik warung. Piring-piring diangkuti anak si ibu. Sebagai rasa terima kasih, Genduk memberi tip pada si bocah. Tak berapa lama, mereka meninggalkan warung menuju tempat dijualnya ikan asin.

Warung ikan bakar (dok.Gana)
Warung ikan bakar (dok.Gana)
Mau ikan yang mana?(Dok.Gana)
Mau ikan yang mana?(Dok.Gana)
Lobster (dok.Gana)
Lobster (dok.Gana)
Mejanya penuh ikan (dok.Gana)
Mejanya penuh ikan (dok.Gana)
Bau menyengat sudah menusuk hidung. Mereka sudah sampai di pasar. Sayang, sudah tutup pasarnya. Hanya beberapa pedagang yang masih di los-los kayu itu, mengemasi barang dagangannya supaya tidak digondol tikus atau kucing ketika pulang ke rumah nanti.

Berjalan kaki usai makan adalah salah satu cara untuk membiarkan organ di dalam perut mendaur ulang makanan yang sudah dikunyah tadi. Dengan bergerak atau berjalan kaki, ada kalori yang terbakar karena pemakaian energi.

Setengah jam kemudian, mereka sudah kembali di deretan warung tenda pasar Ujung. Genduk tertarik dengan salah satu gerobak berisi gorengan.

Ada tahu petis, pisang goreng, sukun goreng, ketela goreng, badak, pisang molen, pisang karamel .... Camilan itu sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia, dikudap sore-sore sembari ngeteh atau ngopi cantik. Sebentar lagi bulan puasa, hawa makan dibatasi. Hari itu, apa yang ada dinikmati saja. 

Suaminya seperti sapi dicocok hidung, memilih gorengan apa saja yang ingin dicoba. Sayang, mereka harus  menunggu karena pembeli sebelumnya keburu memborong dagangan.

Si penjual gorengan mempersilakan konsumennya untuk duduk. Gorengan baru akan matang kira-kira 10 menit. Lantas?

Labuan Bajo memang sudah gelap, namun udara masih juga panas dan lembab. Akibatnya rasa haus mendera, sampai membuat Genduk gelisah menatap para pelanggan yang duduk di sebelahnya sedang menikmati jus alpukat dan jus mangga.

Genduk dan suami tergoda. Begitu pesan, mixer begitu cepat tanpa ampun menghancurkan bongkahan es batu dan potongan buah yang mereka pilih.

Sedang enak-enaknya menyedot jus, datang seorang penjual. 

"Sarung, Mister?" Seorang pedagang bermata sayu mendekat.

"Nggak, sudah beli 6." Suami Genduk menolak.

"Belum 10, Mister." Si pedagang tetap ngotot menawarkan sarungnya.

"Aku bisa bangkrut, man." Sang bule kesal.

"Mister orang kaya, nggak bisa bangkrut kayak saya." Si pedagang mengira si bule kaya.

Memang ada pendapat dari masyarakat awam bahwa setiap bule itu kaya. Mereka belum pernah lihat bule yang jadi gelandangan, bule yang nyolong atau bule yang harus kerja keras seperti jadi tukang sampah untuk bertahan hidup atau menghidupi keluarganya.

"Kasihan, pak. Dagangannya masih banyak banget." Genduk merasa iba.

"Ah, kamu mulaiiii ... tadi di sana beli sarung, di sini mau beli sarung juga." Suaminya mengingatkan.

"Udah jangan pelit, Hunny. Beli satu, ya, pak. Rp.50.000,00 kan?" Bukan bermaksud melawan, Genduk tetap membeli satu sarung lagi. Menurut Genduk, jika satu sarung harganya hanya Rp 50.000,00, sama dengan 3 euro. Jumlah yang kecil. Tambah satu sarung lagi, nggak masalah.

"Nggak bu, seratus, nanti saya tambah doa supaya ibu dan Mister sehat bahagia sampai tua dan ketemu ramadan-ramadan karim supaya masuk surga." Bapak penjual meringis. Gigi-giginya sudah mulai habis. Besok sudah bulan ramadan, bulan yang lebih baik dari seribu bulan. Ia berharap kami akan mendapati bulan-bulan tersebut, supaya semakin banyak kebaikan dan amal yang kami lakukan.  Bersiap-siap menyambut ramadan mulai dari sekarang, memang perlu dilakukan.

"Tadi aku beli segitu pak, nih, lihat." Genduk memperlihatkan tumpukan sarung. Kebetulan, para pedagang yang tadi menjual 6 sarung, lewat. Tangan Genduk menunjuk pada mereka. Si pedagang menunduk. Genduk tidak tega. Sepakat, seratus ribu; limapuluh  untuk sarung, limapuluh  untuk bonus doa. Genduk ingin bertemu ramadan-ramadan selanjutnya, mengumpulkan amal ibadah.

Si pedagang kegirangan dan secepat kilat ngeloyor pergi. Suami Genduk geleng-geleng kepala. Di sana sarung, di sini sarung? Iapun buru-buru mengeluarkan uang untuk membayar gorengan dan menggandeng tangan Genduk, kembali ke hotel. Si bule takut akan datang pedagang sarung lainnya dan Genduk beli sarung lagi. (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun