Sungkowo
Sungkowo Guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

Dua Siswa Kami Ngabuburit Sembari Menguatkan Jiwa Kewirausahaan

2 April 2024   22:14 Diperbarui: 3 April 2024   16:09 1600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua Siswa Kami Ngabuburit Sembari Menguatkan Jiwa Kewirausahaan
Ilustrasi 1: Di tepi sepanjang jalan depan SMP 1 Jati, Kudus, Jawa Tengah, ramai penjual takjil, 2/4/2024. (Dokumentasi pribadi)

Ternyata tak setiap orang, apalagi anak-anak, memanfaatkan momen ngabuburit untuk hal yang produktif. Umumnya, ngabuburit sekadar duduk-duduk di spot alam yang menawan sembari bincang-bincang santai.

Atau, bermain, yang tentu lebih banyak dilakukan oleh anak-anak. Dapat bermain di dalam ruang. Tapi, dapat juga di luar ruang, misalnya, di lapangan terbuka atau taman. Atau, gowes bagi sekelompok orang yang hobi gowes. Yang ini, saya tahu, dilakukan oleh orang dewasa.

Semua ngabuburit yang disebut di atas, sebetulnya juga produktif. Sekalipun duduk-duduk di alam terbuka sembari berbincang-bincang santai, tetap membuahkan hasil, sekurang-kurangnya, perasaan terasa nyaman dan lega saat menunggu berbuka puasa.

Pun demikian, anak-anak yang bermain dan kelompok pehobi gowes, tentu membuahkan "sesuatu" saat melakukannya, yang dapat bermanfaat sebelum waktu berbuka puasa tiba.

Hanya, memang, saya menjumpai ngabuburit yang bernilai ekonomi. Sekalipun tak harus ngabuburit itu bernilai ekonomi. Untuk ngabuburit yang demikian boleh jadi sudah dilakukan oleh banyak orang.

Hal ini dapat dilihat banyaknya penjual musiman. Yang pada waktu-waktu biasa tak pernah dilihat, pada momen Ramadan hampir di sepanjang tepi jalan ramai penjual takjil.

Seperti sepanjang tepi jalan di depan sekolah tempat saya mengajar. Sejak dulu di area ini memang dijadikan lokasi orang berjualan. Tapi, jumlah penjualnya tak sebanyak jumlah penjual pada Ramadan ini. Artinya, ada penjual-penjual baru yang muncul pada masa Ramadan.

Dan, saya menjumpai dua siswa kami yang ambil bagian dalam ngabuburit dengan mengembangkan jiwa kewirausahaan di lokasi ini. Tepatnya, berjualan es. Mereka (memang) tak berjualan es milik sendiri atau usahanya sendiri.

Mereka mengikuti bosnya. Istilah "bos" ini yang mereka gunakan untuk menyebut pihak yang memberi ruang baginya untuk ambil bagian dalam usaha. Dua siswa kami ini laki-laki. Keduanya Kelas 9.

Sangat mungkin aktivitas serupa dilakukan oleh siswa kami yang lain. Tapi, sejauh ini, saya belum mengetahuinya. Bahkan, sangat mungkin juga dilakukan oleh siswa di sekolah lain.

Sebab, setiap siswa memiliki keunikan, termasuk keunikan untuk mengembangkan jiwa kewirausahaan yang (mungkin) sudah tertanam di dalam dirinya. Tertanamnya tentu disebabkan oleh berbagai faktor.

Bisa saja karena lingkungannya telah mendidik mereka. Karena orangtua, misalnya, sudah bergerak di bidang usaha. Karena lingkungan sekitar banyak yang membuka usaha.

Tapi, dapat saja karena kondisi dan situasi keluarga mengharuskan mereka ikut berusaha. Intinya, mereka membantu orangtua karena kebutuhan keluarga belum terpenuhi.

Dan, sepertinya, kedua siswa kami  ikut usaha bosnya berjualan es karena faktor kondisi dan situasi keluarga yang mengharuskannya. Mereka membantu orangtua karena penghasilan orangtua masih perlu didukung.

Bagi saya, mereka siswa yang berbeda dengan siswa yang lain. Sebab, sekalipun mereka sekolah --seperti teman-temannya-- masih menyediakan waktu untuk beraktivitas positif. Berwirausaha, walaupun mengikut bos,  merupakan aktivitas positif.

Sekalipun memang aktivitas positif tak harus berwirausaha. Bisa yang lain. Misalnya, berolahraga, membaca buku, mengikuti ekstrakurikuler, dan bergabung di kegiatan keagamaan atau sosial.

Hanya, kedua siswa kami yang ini lebih khusus karena mereka bergerak di bidang kewirausahaan. Dan, saya, sekali lagi, hingga kini belum menjumpai siswa lain yang bergerak di bidang serupa.

Mereka berdua berada dalam satu kelas. Satunya, bernama Ahmad Rizky Fatony Adhan, yang biasa dipanggil Tony. Dan, satunya lagi, bernama Ahmad Hanafi, yang biasa disapa Hanafi.  

Tony dan Hanafi secara akademik termasuk dalam kelompok biasa. Artinya, tak tergolong sangat pintar (kelompok tinggi), juga tak termasuk tak pintar (kelompok bawah).

Mereka dapat mengikuti pembelajaran secara wajar. Saat materi yang diajarkan mudah, mereka dapat mengikutinya. Ketika materi yang disampaikan sulit, mereka, terutama Hanafi, mau bertanya kepada guru.

Memang keunikan yang mereka miliki, khususnya mengenai "keberaniannya" terjun ke bidang kewirausahaan, belum ada siswa lain di kelasnya yang menyerupai mereka. Bahkan, mungkin siswa lain di sekolah tempat saya mengabdi, belum ada yang menyamainya.

Yang utama adalah dari sisi mental. Keduanya, saya rasa, memiliki mental yang kuat. Sebab, anak seusia mereka umumnya memiliki rasa malu beraktivitas seperti yang  Tony dan Hanafi lakukan.

Apalagi aktivitas itu berlangsung di dekat lokasi sekolah mereka mengenyam pendidikan. Yang, tentu diketahui oleh teman-temannya. Tapi, sejauh ini Hanafi dan Tony tetap melakukannya dengan baik-baik saja.

Dan, sejauh saya mengetahui gambaran teman-temannya di sekolah, baik yang teman dalam satu kelas maupun satu sekolah, tak pernah ada satu kali pun saya mendengar pergunjingan tentang mereka.

Gambaran demikian menunjukkan bahwa teman-temannya memandang positif aktivitas Hanafi dan Tony.

Bahkan, ketika saya sengaja mempercakapkan di hadapan siswa (lain), baik di kelas Hanafi dan Tony maupun di kelas-kelas lain, dalam maksud untuk memotivasi, para siswa terlihat memberi apresiasi dan menyambut baik.

Hanafi, sebetulnya, sudah sejak lama bergerak di bidang kewirausahaan. Sebelum jualan es pada Ramadan ini, ia berjualan cilok keliling dengan motor. Juga sama seperti jualan es ini, ia ikut bos, bos cilok.

Ilustrasi 2: Hanafi (berkaus hitam) sedang menata jualannya bersama temannya, yang juga alumni SMP 1 Jati. (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 2: Hanafi (berkaus hitam) sedang menata jualannya bersama temannya, yang juga alumni SMP 1 Jati. (Dokumentasi pribadi)

Rumah bos cilok justru dekat dengan lokasi sekolah, yang sekaligus dekat dengan rumah Hanafi. Jadi, mereka bertetangga dekat. Setiap hari sepulang sekolah, ia berjualan cilok, hingga malam, sekitar pukul 21.00 WIB.

Terkait dengan kesibukan usahanya yang tersebab oleh kondisi keluarga (ini), saya memotivasinya. Tetap semangat dan terus kerjakan dengan penuh syukur. Tapi, aktivitas sekolah tak boleh diabaikan.

Bahkan, pernah saya menyarankan begini, saat berjualan cilok keliling usahakan membawa buku. Karena, ternyata, ada saatnya ia berhenti di satu lokasi tertentu menunggu pembeli. Saat-saat belum ada pembeli, dapat diselingi aktivitas belajar.

Saat itu, ia menerima saran saya. Hanya, hingga tulisan ini saya buat, saya belum pernah menanyakan tentang hal itu kepadanya. Yang,  hingga kini saya lihat adalah ia tetap rajin bersekolah. Sekalipun saya juga melihatnya, ia tampak lelah.

Sebetulnya, berjualan es yang selama Ramadan dijalani ini tak terlalu lama durasinya. Sebab, begitu waktu magrib tiba, sudah selesai, tak sampai pukul 21.00 WIB.

Sehabis sekolah, katanya, ia, tentu juga Tony, mempersiapkan barang jualannya di rumah bosnya. Dari rumah bosnya hingga di lokasi berjualan, di jalan depan lokasi sekolah, barang yang dijual diantar dengan mobil.

Sampai di lokasi berjualan, mereka menata es yang dijual. Lokasi Hanafi berjualan berbeda dengan lokasi Tony berjualan. Lokasi Hanafi berjualan ada di sisi barat jalan, sedangkan Tony di sisi timur jalan.

Dengan begitu, baik masyarakat yang menggunakan sisi jalan bagian barat maupun timur dapat membeli. Mereka tak perlu menyeberang jalan untuk membeli es dengan "merek" yang sama.

Saya tak menanyakan lokasi penataan tempat mereka berjualan. Mungkin bosnya yang menginisiasi, terkait dengan ilmu pemasaran. Tapi, mereka berdua pasti memahaminya. Ini pengalaman belajar yang tak diperolehnya dari sekolah.

Sebuah pengalaman belajar yang sangat bermakna karena langsung bersentuhan dengan perihal kehidupan sehari-hari, yang sangat kontekstual. Hal seperti ini, di antaranya, yang justru kelak dibutuhkan oleh mereka untuk menjalani kehidupan.

Hanafi, sepertinya, sudah memiliki ilmu kewirausahaan yang cukup baik. Sebab, ketika memasuki  Ramadan, berjualan cilok sepi pembeli, ia beralih berjualan es. Dan, berjualan es memang ramai pembeli saat Ramadan.

"Saya berjualan sampai magrib saja, seminggu sekali bayaran saya ambil, dapatnya 280 ribu," kata Hanafi saat ditanya berapa penghasilan berjualan es pada Ramadan ini. Penghasilan ini relatif sama dengan ketika ia berjualan cilok.

Lanjutnya, kalau berjualan cilok waktunya panjang, dari sehabis pulang sekolah sampai jam sembilan malam. Dan, selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Sementara itu, Tony, belum pernah berjualan cilok. Dari awal ia berjualan es. Bahkan, berjualan es dilakukan jauh sebelum Ramadan, sama seperti Hanafi. Tapi, sempat berhenti.

Dan, kata Hanafi, Tony sempat mau bergabung dengannya berjualan cilok. Karena setelah mereka  berhenti berjualan es, Hanafi langsung alih usaha, yaitu berjualan cilok, sementara Tony belum move on.

Selama berjualan cilok, Hanafi juga berjualan di sekolah. Saat bersekolah, ia sengaja membawa cilok dalam wadah. Ia memanfaatkan waktu istirahat untuk berjualan.

Bergerak dari satu kelas ke kelas yang lain. Banyak temannya yang membeli. Bahkan, guru dan tenaga kependidikan (GTK) pun ikut membeli. Selalu habis jualannya. Pulang sekolah membawa wadah kosong dan uang.

Tak demikian dengan Tony. Ia hanya bersekolah. "Saya memang sejak Kelas 9 menganggur, ndak ikut jualan," kata Tony saat ditanya melalui WhatsApp.

Ilustrasi 3: Tony (kiri) sedang melayani pembeli bersama temannya, yang juga alumni SMP 1 Jati. (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 3: Tony (kiri) sedang melayani pembeli bersama temannya, yang juga alumni SMP 1 Jati. (Dokumentasi pribadi)

Hanya, dalam hal bergabung jualan, Tony sudah memulainya sejak Kelas 8. Ia menyebutkan ikut kuliner pasar malam. Juga ikut bos yang sama seperti saat Ramadan ini, berjualan es.

Uang yang didapat (kala itu) ditabung dan untuk membantu orangtua. Saat ini, uang yang didapat dari berjualan es, diakuinya untuk membeli baju baru untuk Lebaran. Selain juga, untuk persiapan masuk SMK, sedikit-sedikit meringankan beban orangtua.

Yang jelas, Hanafi dan Tony tak menyia-nyiakan waktu menunggu berbuka puasa. Mereka berdua ngabuburit sembari menguatkan jiwa kewirausahaan. Sekalipun itu hanya berjualan es milik bosnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun