Muhammad Saddam Haikal
Muhammad Saddam Haikal Mahasiswa

Hanya manusia biasa yang membiasakan diri untuk terbiasa belajar, mengajar, dan diajarkan

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Idulfitri: Cara Menyikapi Pertanyaan dan Pernyataan Menyakitkan saat Lebaran dengan Stoikisme

1 Mei 2022   09:51 Diperbarui: 1 Mei 2022   10:24 1558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Idulfitri: Cara Menyikapi Pertanyaan dan Pernyataan Menyakitkan saat Lebaran dengan Stoikisme
Idulfitri (Foto: Rodnae Productions dari Pexels)

Beberapa hari lagi, kita akan menutup ibadah puasa di bulan Ramadan dan menyambut hari raya Idulfitri. Sesuai dengan tradisi, kita akan bercengkerama kembali dengan sanak saudara yang mungkin hanya bisa bertemu satu tahun sekali di momen hari raya ini. 

Oleh karena itu, tentu banyak sekali cerita, pertanyaan, dan pengalaman yang akan dibagikan sebagai salah satu cara mengeratkan tali silaturahmi. 

Singkatnya, lebaran menjadi sarana untuk memperbarui informasi masing-masing individu kepada keluarga besar: karir, prestasi, dan berbagai topik lainnya.

Akan tetapi, terkadang pertanyaan dan pernyataan yang diajukan oleh "oknum" keluarga besar membuat kita merasa tidak nyaman. Alih-alih merasa bahagia, hari raya justru menjadi ajang untuk saling singgung-menyinggung antara satu sama lain. 

Sangat disayangkan apabila hari yang digunakan untuk saling bermaafan justru berubah menjadi hari yang penuh rasa kesal, dendam, dan benci. 

Tentu, kita tidak ingin hal ini terjadi dan mengotori ritual suci yang seharusnya digunakan sebagai momen untuk memperbaiki diri setelah satu bulan berpuasa.

Lantas, apa yang harus kita lakukan agar hari raya tetap terasa menyenangkan dan menggembirakan meski terdapat beberapa pertanyaan dan pernyataan yang menyakitkan hati dari sanak saudara kita?

Jauh sebelum masa kejayaan Islam, para filsuf Yunani dan Romawi kuno telah memberikan kita resep jitu untuk menghadapi fenomena ini. Resep tersebut bernama "stoikisme". 

Tidak seperti kebanyakan ajaran filosofi yang menekankan pada teori, stoikisme adalah filosofi yang berfokus pada praktik sehingga dapat diaplikasikan dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus pusing-pusing memahami setiap istilah yang diajarkan.

Stoikisme secara sederhana merupakan filosofi yang berusaha menuntun kita dalam menjinakkan emosi (terutama emosi negatif) terhadap hal-hal eksternal, seperti orang lain dan lingkungan yang notabene berada di luar kendali kita. 

Untuk itu, tidak heran apabila stoikisme menganjurkan kita untuk berfokus pada apa yang bisa kita ubah dalam kehidupan ini, yaitu pikiran dan perilaku kita sendiri. 

Tujuannya adalah agar kita mampu menyikapi setiap peristiwa yang menimpa diri secara lebih bijak dan "gembira", karena kita tahu bahwa apa yang terjadi di luar kendali kita merupakan sesuatu yang mustahil untuk dikendalikan.

Mengacu pada pernyataan di atas, stoikisme telah menjadi salah satu cara efektif yang bisa kita gunakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakkan, terutama ketika hari raya Idulfitri tiba.

Tanpa berlama-lama lagi, berikut ini adalah beberapa cara menurut stoikisme yang bisa kita gunakan untuk menyikapi pernyataan dan pertanyaan menyakitkan ketika hari lebaran. Selamat menyimak :)

1) Bayangkan Kejadian Terburuk!

Dalam stoikisme, istilah ini disebut sebagai "Premeditatio Malorum" atau visualisasi negatif. Filsuf stoik menyarankan kita untuk mempraktikkan istilah tersebut sebagai akvititas pertama sebelum memulai hari (tentu saja setelah berdoa bangun tidur).

Premeditatio Malorum meminta kita untuk membayangkan peristiwa atau kejadian terburuk yang mungkin saja menimpa kita selama dua puluh empat jam ke depan. Kejadian yang kita bayangkan adalah kejadian-kejadian yang berpotensi membuat perasaan, suasana hati, dan emosi kita kacau. 

Dengan membayangkan peristiwa buruk, kita akan menjadi lebih siap secara mental apabila ternyata peristiwa yang kita bayangkan benar-benar terjadi.

Mari kita gambarkan dalam konteks Idulfitri. Sebelum berangkat salat hari raya, pikirkan secara matang tentang peristiwa apa saja yang akan membuatmu merasa marah, kesal, sedih, dan kecewa. Misalnya, sandal copot di tengah jalan, ketinggalan khotbah, hujan tiba-tiba, saf salat penuh, dan berbagai peristiwa lainnya.

Penggambaran terhadap perisitiwa-peristiwa di atas akan menuntun kita untuk merasa siap dengan konsekuensi dan akibat jikalau peristiwa itu terjadi. Ketika kita bisa membayangkan kemungkinan terburuk, kita menjadi lebih berhati-hati dan peka dengan keadaan sekitar. 

Inilah yang menjadi perbedaan Premeditatio Malorum dengan sikap pesimisme yang hanya sebatas berhenti pada proses penggambaran dan tidak berusaha mencari solusi.

Premeditatio Malorum memerintahkan kita untuk langsung menemukan solusi aktif maupun pasif sesaat setelah membayangkan peristiwa buruk. 

Solusi aktif adalah solusi yang kita persiapkan dengan aksi atau melakukan sesuatu, sedangkan solusi pasif adalah solusi yang sebatas kita pikirkan di dalam hati demi menguatkan perasaan dan mental kita.

Misalnya: sebelum berangkat ke masjid, kita pastikan bahwa sandal yang dipakai tidak rusak dan berhati-hati ketika menggunakannya sehingga diharapkan tidak copot (solusi aktif). 

Jika pun ternyata sandal itu rusak juga di tengah jalan, setidaknya kita sudah membayangkan peristiwa itu sehingga tidak akan kesal-kesal amat (solusi pasif).

Kita juga bisa menggunakan analogi Premeditatio Malorum ini ketika menghadapi pertanyaan dan pernyataan menyakitkan. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, kita dituntut untuk bisa membayangkan kondisi terburuk yang akan menimpa, sehingga kita diharapkan akan lebih mapan jika peristiwa itu menjadi kenyataan. 

Oleh karena itu, stoikisme menyarankan kita untuk membayangkan pertanyaan atau ungkapan apa saja yang membuat kita sakit hati dan risih, lalu mempersiapkan jawaban apa yang akan kita berikan, seperti jawaban untuk pertanyaan seputar pernikahan, keturunan, kelulusan kuliah, prestasi, berat badan, atau bahkan hal-hal kecil berupa model pakaian, satu jerawat di wajah, dan berbagai topik-topik tidak mengenakkan lainnya.

Tanamkan dalam hati bahwa pada hari ini saya akan diberikan berbagai macam pertanyaan dari sanak saudara yang menyakitkan hati saya. Ketika kita sukses membayangkannya dan siap secara mental, kita menjadi "biasa-biasa saja" apabila pertanyaan-pertanyaan itu diajukan.

Praktik Premeditatio Malorum ini bagaikan anak panah yang sudah mengetahui arah bidikanya sehingga tepat menancap di tengah papan sasaran. Begitupun dengan kita, Premeditatio Malorum membuat kita tidak kaget dengan pertanyaan atau pernyataan menyakitkan tersebut karena memang kita sudah "meramalkan" hal ini untuk terjadi. 

Akibatnya, kita tidak lagi merasakan kesal dan kecewa. Toh, gue udah ngebayangin dan memprediksi hal ini bakal terjadi. Jadi kenapa gue harus sakit hati? Santai aja kali.

2) Kamu Tidak Bisa Mengendalikan Orang Lain

Cara kedua ini merupakan jantung dari stoikisme. "Dikotomi kendali", begitulah para filsuf stoik menyebutnya. Dikotomi kendali dibentuk dari dua kata, yaitu "dikotomi" dan "kendali". Dikotomi berarti sesuatu yang terbagi menjadi dua, seperti pria-wanita, hidup-mati, dan ya-tidak. 

Oleh karena itu, dikotomi kendali adalah pemahaman dan keterampilan kita dalam mempertanyakan apakah suatu peristiwa yang terjadi merupakan kendali kita atau tidak.

Dikotomi kendali memberikan kita pemahaman bahwa sesuatu yang berada di bawah kendali kita hanyalah pikiran dan tindakan kita itu sendiri. Sementara itu, kejadian-kejadian selain dari dua hal tersebut merupakan hal eksternal yang tidak memiliki andil sama sekali terhadap kebahagiaan kita, seperti lingkungan, cuaca, iklim, pikiran dan tindakan orang lain, atau bahkan takdir.

Dengan menyadari bahwa kita adalah manusia biasa yang tidak bisa mengendalikan pemikiran, perasaan, dan tindakan orang lain; kita menjadi lebih terampil dalam mengendalikan diri. Oleh karena itu, dikotomi kendali menjadi cara yang cocok untuk kita coba agar mental kita menjadi lebih kuat.

Ketika dihadapkan oleh berbagai peristiwa, tanyakan apakah saya memiliki andil untuk mengubah peristiwa itu? Jika tidak dapat diubah, maka saya hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga jika harus memikirkan dan menyesalinya karena peristiwa itu berada di luar kendali saya. Sama seperti Premeditatio Malorum, dikotomi kendali juga menuntut kita untuk segera memikirkan solusi setelah menafsirkan suatu peristiwa.

Mari kita ambil satu gambaran: kamu hari ini memiliki janji kencan dengan pacarmu dan tiba-tiba saja hujan turun deras. Kamu bisa memilih apakah ingin mencaci-maki hujan itu atau menyadari bahwa hujan merupakan peristiwa yang berada di luar kendalimu. Teriak-teriak sekencang apa pun atau membanting seribu pot bunga juga tidak akan membuat hujan itu berhenti seketika, bukan?

Oleh karena itu, stoikisme menyarankan kita untuk segera berpikir apakah peristiwa yang menimpa merupakan kendali diri atau tidak. Ketika sesuatu yang berada di luar kendali saya terjadi, maka tidak ada gunanya menyesali atau memarahi peristiwa tersebut. 

Sebaliknya, yang bisa saya lakukan adalah mengatur pikiran dan tindakan saya sendiri terhadap peristiwa itu. Di titik inilah kita menjadi lebih tenang dalam menghadapi setiap peristiwa. Dengan kata lain, kita menjadi "paten" dari dalam seperti pohon yang memiliki akar kuat.

Pada momen hari raya, dikotomi kendali adalah prinsip yang harus kita pegang erat agar tidak terombang-ambing dengan emosi negatif ketika mendengar pertanyaan dan pernyataan menyakitkan. Dengan begitu, suasana hari raya tidak menjadi rusak atau terkotori oleh rasa kesal dan dendam.

Ketika bertemu dengan sanak saudara, kita harus pahami secara betul bahwa mereka semua berada di luar kendali kita. Setiap perkataan, emosi, perasaan, pikiran, dan perbuatan saudara bukanlah sesuatu yang bisa kita kontrol. Untuk itu, percuma saja kita bereaksi berlebihan terhadap tindakan atau ucapan mereka yang tidak mengenakan di hati.

Pertanyaan dan pernyataan menyakitkan dari sanak saudara tidak akan benar-benar menyakiti kita apabila kita menyikapinya secara tepat, yaitu dengan tidak merasa "tersakiti". 

Stoikisme berprinsip bahwa peristiwa-peristiwa di luar diri kita merupakan peristiwa netral yang tidak menentukan kebahagiaan kita, termasuk ucapan dan tindakan orang lain.

Tetaplah bersikap tenang dan jinakkan emosi negatif dengan tidak merespons pertanyaan dan pernyataan tersebut secara spontan atau tanpa dipikirkan terlebih dahulu. 

Jangan jadikan momen hari raya sebagai ajang saling sindir dan adu mulut. Tentu, kita tidak mau hari raya yang suci ini dipenuhi dengan keributan antarsaudara. 

Pikirkan baik-baik apa efek yang akan terjadi jika kita menanggapi api dengan api. Lebih baik diam daripada meresponsnya dengan kemarahan. Ingat bahwa tindakan dan perkataan mereka semua berada di luar kendali kita. 

Embankan ini di dalam hati: kebahagiaan saya tidak berasal dari perkataan mereka, tetapi berasal dari diri saya sendiri. Oleh karena itu, saya harus menyikapi pertanyaan dan pernyataan ini secara tenang sebagai bahan evaluasi untuk menjadi lebih baik lagi ke depannya.

***

Demikianlah dua cara yang bisa kita gunakan untuk menghadapi pertanyaan dan pernyataan menyakitkan saat hari raya. Gunakanlah cara-cara yang telah disampaikan di atas dengan mempraktikkannya secara nyata dalam kehidupan. 

Prinsip-prinsip stoikisme tidak hanya dapat kita gunakan dalam momen lebaran, tetapi juga bisa kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari demi membangun mental yang kuat dan tangguh dalam menghadapi setiap pergolakan dan cobaan hidup. 

Tidak lupa, saya pribadi mengucapkan selamat merayakan hari raya Idulfitri, semoga amal ibadah kita di bulan Ramadan diterima oleh Allah swt. Amin. Minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin, taqabbalallahu minna wa minkum. Semoga bermanfaat :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun