Mang Pram
Mang Pram Freelancer

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

[Cerpen] Bandit Bertopeng Sarung

14 Mei 2020   22:27 Diperbarui: 14 Mei 2020   22:48 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[Cerpen] Bandit Bertopeng Sarung
Ilustrasi (Dokpri)

Langkahnya secepat kaki kijang. Menerjang semak belukar. Lincah meniti jalan setapak.

Nafasnya tersengal, seirama dengan gerak langkah semakin cepat. Sesekali melihat ke belakang. Tiga orang sedang mengejarnya.

"Hai, Bandit. Kamu bersalah telah mencuri. Berhenti atau tembak mati!" teriak seorang dengan topi yang tertempel lencana kapten.

Lelaki dengan postur badan mungil itu tidak mau mendengarkan. Bagian kepalanya terbungkus kain sarung. Hanya mata saja yang terlihat. Tampilannya mirip ninja. 

Bungkusan karung menempel di pundaknya. Kedua tangan keras mencengkram. Meski terlihat berat, Bandit itu tetap lari tanpa kesusahan membawa kabur barang curiannya.

"Tidak! Kalian tidak akan bisa menangkapku," Ia berkelakar sambil tertawa keras. 

"Kau sudah mencuri. Harus dihukum berat!" teriak Kapten.

"Aku tidak mencuri, cuma mengambil sebagian saja!" 

Kakinya emang lincah. Tanpa alas kaki, mampu berlari di tanah yang basah. Menginjak daun-daun kering dan menghindari ranting yang menghalangi.

Meski sedang diburu, tidak ada rasa ketakutan sedikit pun. Hanya bisa lari untuk menyelamatkan diri.

Prajurit satu bertubuh ringki melontarkan anak panah. Bidikannya cepat membelah angin. Hingga mata panah berhasil mengenai karung.

"Waduh," kata si Bandit melihat ada anak panah yang menempel di karung.

Saat si Bandit menengok ke belakang, sebuah peluru batu melesat ke arah wajahnya. Secepat menghindar. Peluru batu itu gagal mengenai sasaran.

"Woi, bahaya... Jangan bunuh aku!" teriak si Bandit.

Hingga kemudian langkah bandit terhenti. Jalan buntuh. Sebuah batu besar menghalangi jalannya.

Tiga orang yang mengejarnya pun telah sampai dan membentuk formasi menghadang. Mereka kini saling berhadapan.

Si Bandit bernafas tersengal-sengal. Kain sarung yang menutupi wajahnya sudah basah dengan keringat.

"Sudahlah, menyera saja kau, Bandit," kelakar Kapten dengan sok berwibawah.

Prajurit satu menarik anak panah yang mengarah ke tubuh si Bandit. Begitu juga dengan Prajurit dua yang sudah membidik dengan ketapelnya.

"Ampun. Jangan serang aku dengan senjata itu!"

"Jika tidak mau tersakiti, lepaskan barang curian itu. Kamu kami tangkan. Selesaikan masalah ini secara hukum di pengadilan!" kata Kapten.

Si Bandit merasa terpojok. Bungkusan karung di punggungnya diturunkan. 

"Ampun saya nyerah," katanya memelas.

Sang Kapten dan Prajuritnya tertawa girang. Merasa pengejaran Bandit kali ini sangat gampang ditangkap.

Tangan si Bandit merogoh ke dalam karung. Mengambil sesuatu. 

"Hai gendut, ketapelmu membahayakan," kata Si Bandit.

Prajurit dua yang akhli membidik musuh dengan ketapelnya ketawa. Perutnya yang gembul terlihat bergoyang-goyang.

"Kamu pasti lapar, tangkap ini," kata Si Bandit sambil melemparkan pisang. Si Gendut sangat senang sekali menerima pisang. 

Mumpung perhatian Prajurit dua tertuju ke pisang, Bandit tengil itu ambil kesempatan untuk menerobos dan kabur dengan mudahnya.

"Gendut sialan, makanan saja di otakmu!" kata Kapten dengan wajah marah.

Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Memasuki perkebunan. Melewati jalan setapak. Sesekali tubuh harus merunduk ketika melewati ranting pohon.

Si Bandit sampai di tepi sungai. Ia tertawa senang. "Akhirnya sampai juga ke sungai. Di mana jembatannya? Saya salah ambil jalan ini," katanya sambil mencari-cari jembatan kayu yang dijadikan jembatan.

Si Bandit terus berjalan ke arah barat. Sampai matanya melihat ada jembatan kayu melintang di atas sungai. 

"Ayo cepat kejar Bandit itu, jangan sampai lepas melewati sungai," perintah Kapten.

"Siap, Kapten," Prajurit menjawab dengan kompak.

Bandit merasa bahagia sekali ketika sampai ke jembatan. Perlahan langsung meniti jembatan kayu dengan hati-hati. Permukaan jembatan basah oleh sisa hujan. 

Si Bandit sangat pelan menapakan kaki. Mendapatkan keseimbangan dengan beban barang bawaan yang berat sungguh menyulitkan.

Si Kapten kemudian menyusul sampai ke jembatan. Kaki lebih lincah meniti jembatan kayu. Si Bandit hanya tinggal beberapa langkah di depannya.

"Jangan harap bisa menangkapku," kelakar si Bandit yang sudah sampai di ujung jembatan.

Si Bandit mulai iseng. Di ujung jembatan kakinya menghentak-hentak. Membuat jembatan kayu bergoyang. Kapten sudah sampai di tengah jembatan tidak terpengaruh, begitu juga dengan prajurit pertama yang sudah menyusul.

"Jangan digoyang-goyang, aku tidak bisa berjalan," kata Prajurit dua yang merasa kesulitan. 

Jembatan kayu yang bergoyang membuat Prajurit dua kehilangan keseimbangan. Kaki salah langkah dan terjun ke dalam sungai.

Byurrr... Percikan air sungai terlontar ke atas ketika tubuh gembul itu terjatuh.

"Rasakan!" teriak si Bandit sambil ngacir.

Kapten dan Prajurit satu berhasik melewati sungai. Jarak semakin dekat dengan Si Bandit.

"Waduh... tolong...." teriak Bandit ketika tangan Kapten berhasil menepuk pundaknya. 

Namun Si Bandit masih bisa lolos. Tubuhnya yang ramping mudah berkelit.  

"Jangan harap bisa menangkapku. Aku Bandit selincah kijang," katanya berkelakar.

Belum juga menutup mulutnya, sebuah tali melingkar terbang di atas kepala dan berhasil menangkapnya. Tali yang dilempar Kapten berhasil mengikat tubuh si Bandit.

"Aku tidak boleh tertangkap. Gerbang perbatasan desa sudah dekat," kata si Bandit.

Kapten menarik tambang dengan kerasnya. Si Bandit jadi tertahan dan tidak bisa kabur. Apes sudah nasib Bandit di tangan Kapten.

Prajurit satu langsung merampas bungkusan karung. Secepatnya tangan si Bandit di ikat dengan tali. Kini si Bandit tidak bisa berkutat. Tali sudah melilit di tubuhnya.

"Sekarang kamu tebus kesalahanmu di penjara!" kata Kapten.

Si Bandit merontah ingin meloloskan diri. Gerbang desa hanya beberapa langkah lagi. Jika bisa menyebranginya, Si Bandit bisa lolos dari jerat hukuman.

"Tolong aku.... Ah... Sakit," teriak Si Bandir merontah-rontah.

Kapten dan Prajurit satu tertawa dengan puasnya. Kali ini si Bandit tidak bisa lolos dari kejarannya. 

Si Bandit kemudian diseret menuju gerbang desa. Kesal sekali tidak bisa lolos kali ini.

Saat si Bandit merontah, ujung tali di tangan Kapten terlepas. Ia langsung berlari. 

"Bruk!!!" baru beberapa langkah tubuh si Bandit menghantam sesuatu. 

Rupanya tubuh lelaki tambun berbuju lengan panjang berwarna putih dengan sarung kotak-kotak. 

Wajah Bandit mendongak ke atas. Tangan lelaki itu langsung menarik sarung yang menutupi wajah si Bandit.

"Halah, kalian lagi," katanya sambil geleng-geleng kepala.

Wajah si Bandit dengan perawakan kurus dengan hidungnya yang lancip itu nyengir bagai kuda.

"Assalamualaikum, Kiyai" kata Si Bandit. Kemudian ia membuka kain sarung yang masih menutupi kepalanya.

Si Bandit, Kapten, dan Prajurit satu rebutan meraih tangan Kiyai, bersalaman dengan mencium punggung tangan.

"Disuruh ke pasar malah main-main. Kalian kan puasa, jangan main kejar-kejaran. Nanti capek lagi," kata Kiyai.

"Kami sudah beli pisang dan gula aren buat berbuka hari ini, Kiyai," kata Prajurit satu.

"Ya sudah kalian cepat masuk ke Pondok. Mandi, sebentar lagi masuk waktu salat ashar," perintah Kiyai.

Mereka jalan beriringan menuju pintu gerbang Pondok Pesantren Al-hidayah. 

Setelah semua orang sudah masuk ke dalam pondok pesantren, terdengar suara anak yang menangis. Dari balik pohon muncul anak bertubuh gendut dengan baju basah dan berlumuran lumpur.

"Kalian tega ninggalin aku terjatuh di sungai," teriaknya sambil menangis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun