RAMADAN

Sekadar Teks Tertulis yang Kacau

14 Maret 2024   21:51 Diperbarui: 19 April 2024   14:40 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekadar Teks Tertulis yang Kacau
DOK. PRI

Suatu malam di bulan Ramadhan, 1445 H, saya celengukan di depan layar leptoup. Ehe, laptop maksudnya. Bukan apa-apa. Saya menyesal sudah memandangi sebuah judul tulisan tersimpan dalam soft file

Saya tiba-tiba membaca satu judul tulisan ”tempoe doeloe” yang lama "terkubur" dalam soft file. Satu tulisan hasil ”perenungan” kecil-kecilan tentang pra dan pasca Reformasi 1998. Oh, om ini hidup di zaman itu ya? 

Entah saya sudah punya berapa catatan ringan soal peristiwa penting. Malah, ada arsip dan catatan hasil orek-orek dalam buku agenda rapat di salah satu organisasi mahasiswa, yang berhaluan ”moderat,” di Kota Makassar (meski saya pilih istilah lebih ”bebas” karena berisik).

Awalnya, saya tidak menduga tulisan itu masih ada soft file-nya. Saya jadi sok kepo sendiri. Diantara sekian banyak tulisan onlen, palingan sekitar 30-an tulisan yang saya senangi. Tetapi, tulisan lepas itu bukan main ’ngawurnya’. 

Tulisan itu betul-betul ”ada apa dengan anu.” Terus terang saya masih mencari ”bentuk.” Mencari, mencari, dan mencari ...?

Jadi, saya tidak punya posisi untuk hidup glamor. Di benak saya, ada tulisan yang menyiksa waktu itu (hingga sekarang), kalau saya tidak bisa berbuat apa-apa. 

Ah, tulis, ya tulis saja, Man! Nggak perlu kejar tulisan yang ”wah,” bagus, bernas segala! Hentikan takut salah nulis! Begitu gumanku. Hei Emmang, sapaan dari sohib-sohibku! Nikmati saja prosesnya!

Memang perkaranya, tulisan saya repot banget untuk dipahami. Maklum, tulisan ngelantur, ”jurus mabuk” serupa tong kosong nyaring bunyinya. Cuma tulisan rendahan, tulisan kelas ecek-ecek, kelas kaleng-kaleng, etc, etc, teng ... teng.

Seimut-imut dan ”segajah-gajahnya,” petuah sohib-sohibku kala itu menjadi obat penenang rasa loyo. Lah, kenapa bisa tulisanku justeru jadi tidak garing bahkan kacau dan balau? Tanyaku membatin. 

Saya abaikan saja. Itulah punya masing-masing sejarah dan jalan hidup tersendiri. Saya yakin, teks tertulis punya ”blind spot, titik buta, tulisan sebagai teknik mengingat bahkan lebih baik dari ingatan itu sendiri,” kata Jacques Derrida.  

Akhirnya, saya mohon izin karena tulisan ini sudah kelewat panjang sebelumnya. Untuk itu, saya pun mengedit di pelosok kiri kanan, atas bawah. Inilah tulisan tempoe doeloe, tabik!

***

Hasrat untuk menulis belum nongol di ruang khalayak ramai. Dari tulisan tragis, ”wangian” tubuh diramu dalam satu tujuan untuk menjerumuskan lawan politik. 

Tanda-tanda dan jejak-jejak peristiwa yang dilalui oleh tulisan. Saat garis batas cahaya dan kegelapan sudah lenyap, kecuali momentum kegilaan dimeriahkan melalui tubuh. 

Sejak pagi sampai senja, titik dimana saya berhasrat untuk menulis sesuatu sebetulnya tidak tahu apa yang saya tulis. 

Suatu momen yang aneh? Saya tidak tahu dari titik mana saya memulai.

Malam yang dikuasai adalah malam yang gila. Siang nampak kelam. Dari titik tolak ini, di bawah tiga hal: pengetahuan, keindahan, dan kuasa. Tubuh memancarkan kilatan karena ia telah direnggut oleh pesona yang tenggelam saat siang. 

Siang dalam kelengahan. Tubuh merupakan agen-agen kuasa. Seperti rapuhnya rumah laba-laba. Jadi, tubuh membuat tulisan soal kejatuhan dan kejayaan kuasa atau sejenisnya. 

Singkatnya, kerancuan tulisan tidak lebih baik daripada apa yang telah dikenal sebelumnya. 

Menyangkut eporia menulis seiring eporia Reformasi 1998, melainkan dari mimpi dan khayalan yang terepresi menjadi ‘tubuh yang terjinakkan’. Selayaknya dalam hal ini, tulisan menciptakan ‘tai mata’ (maaf agak jorok) tidak datang dari ayunan tidur yang mendengkur. 

Tetapi, ia datang dari momen tidur nyenyak semalam. Karena kekerasan adalah mimpi buruk yang diberi kisah dari banyak versi dan berbagai arah.

Dari teks tentang kegelapan. Ia tertuju pada kelahiran tulisan ngawur dan penanda aneh. Ia menyesuaikan dengan kelengahan atas celah dan rasa puas. Karena itu, bentuk tulisan bertahan sampai titik akhir tubuh.

Ketika saya sedang mencatat judul buku, semuanya ada di dalam ingatan atau khayalan tidak dapat dijadikan pintu gerbang, kecuali celah dan jejak ditumpahkan di atas kertas hanya bertahan pada satu titik tertentu, 

Tetapi, tiba di toko, setiap ingatan atau khayalan itu menjadi buyar dan digantikan dengan hasrat dan selera yang silih berganti mengubah indeks kebutuhan demi buku atau teks tertulis.

Tetapi, suatu sisi ketidakkoordinasian ditemukan dalam garis-garis abstrak, bukan berasal dari rangkaian sumbu gravitasi, tetapi sumbu biner (“aku” dan “Anda”). Bukan pula sumbu optis, tetapi sumbu kristal, tanpa sumbu khayali, tetapi sumbu bumi. Semuanya itu tidak serta merta menciptakan ilusi atau citra mimpi, kecuali dibangun dengan linear, lingkaran, dan spiral. 

Saya dapat mengatakan, bahwa bukan permukaan tubuh dapat dibaca atau ditulis secara enteng di atas kertas. 

Selama nafsu berguna bagi tutur kata manis, kenapa tidak? Ruang pengetahuan dengan pergerakan nafsu birahi, cerdik (tidak mustahil cahaya ditumpas oleh kegelapan) sebagai bukti bahwa energi primitif itu ada dan nyata. 

Sejauh hasrat untuk pengetahuan melepaskan kehidupan dari nafsu durjana, maka hal-hal yang dianggap tabu bisa dijernihkan dengan pemikiran dan penafsiran yang berbeda. 

Saya belajar tentang sumbu-sumbu yang bergeser dari garis horizontal ke garis vertikal, atau sumbu yang sama (x→x, y→y), yang berhubungan dengan  “tubuh” (hiburan, iklan) menggiring dirinya dalam suatu mekanisme pengurangan dan penjumlahan. 

Berkat tubuh yang terjinakkan (setelah aktivis masuk bui) pernah dahulu dikonstelasikan melalui tubuh. Sebagai lelucon konyol dari “penulis” yang bertugas untuk menunda fatamorgana melalui tulisan.

Ketidakhadiran makna yang digabungkan melalui reproduksi tulisan, yang berbeda sampai mencapai figur geometris, dimana sumbu-sumbu diletakkan dari sumbu negatif ke sumbu positif. Apa yang kita temukan dalam penjumlahan dan pengurangan yang memantulkan sumbu yang sama atau positif dengan menghasilkan diskursus.  

Tulisan yang mempan dengan sorotan tajam terhadap rezim kuasa. Ia bukan insting atau birahi (seekor burung hantu tidak takut pada siang, tetapi pada instingnya yang tidak mawas dan manusia sering takut pada bayangannya).

Jika perlu ‘tulisan libidinal’, yaitu hasrat untuk menulis dan termasuk ‘tulisan intelektual’ bisa dipahami. Tulisan muncul tatkala mata yang lengah dari siapa saja yang percaya terhadap titik final terhadap teks atau kebenaran. 

Terhadap persfektif “gurun pasir” sebanyak jejak-jejak dari kafilah-kafilah yang tidak terputus menantang bayangannya. 

Ketika monumen tanpa museum dan sejauh hamparan gurun pasir di kaki langit paling luas; jejak-jejak dan teka-tekilah yang tidak memiliki bayangan semu, berakhir ketika fatamorgana yang dibungkam oleh cahaya di malam panjang. 

Begitulah, tulisan menunjukkan dirinya sebangsa ‘tanda’; pergerakan gambar tidak terlihat dari jarak dekat sehingga kita dapat menyatakan gagasan tentang ketidaksubliman seni, ia berada dalam batas terjauh dimungkinkan terbentuknya suatu ”dunia bayangan tulisan”. 

Oleh karena itu, gagasan tentang kesilauan dari bayangan obyek “gurun pasir” tidak dapat mengkonstelasikan dan mereproduksi dirinya dengan simbol “kafilah,” onta atau keledai.

Sedangkan, dunia tulisan, akhirnya ditemukan lagi dalam aliran darah sejalan dengan aliran hasrat dan aliran modal. Selain itu, ‘proyeksi’, ‘identifikasi’ dan ‘penampilan’; dan dunia ‘nyata’ dibangun atas kemampuan kita mengasuh dua beban teror cermin, yakni diferensi dan konstelasi

Kevakuman tidak berarti kekosongan. Ia semata-mata sebagai suatu titik pantul dari bidang luas sebuah potongan gambar yang terhalang untuk diingat kembali melalui tulisan.

Kadangkala kerangka dasar pikiran mengenai ‘tulisan libidinal’ dalam menggapai “tubuh” yang akan dilintasi permukaannya. Saya kira, setiap tulisan yang lengah dari teka-teki peristiwa justeru akan diambil-alih oleh tubuh.

Satu diantaranya, melalui jari-jemari kita tiba-tiba mengedit atau meralat kata-kata menjadi "jelas" sesuai dengan apa yang ada di kepala penulis. Di situlah, tulisan dengan kata-kata yang jelas atau samar terbebas dari cara berpikir pembaca.

Tulisan dengan kata-kata yang samar bukan semata-mata memberikan makna yang tidak stabil dan tidak pasti, tetapi menambah berlarut-larutnya ketidakhadiran rujukan di tengah berlangsungnya peristiwa atau realitas tertentu. 

Dari posisi yang lebih terbuka, mungkin aliran tulisan dan aliran hasrat membungkam pikiran menjadi kegilaan setelah Cogito Descartes.

Lalu, tulisan yang tidak jelas akibat keterlambatan menangkap serangkaian spatium-vacuum dalam lintasan dan jejak-jejak malam yang melimpahruah. Sejak huru-hara pertentangan kembali memudar di tengah tulisan tentang peristiwa penting akan bersentuhan dengan eikon (citra) dan digantikan dengan tanda dan jejak menjaring kata-kata dan gambar tipuan. 

Demi aliran hasrat, maka aliran tulisan subversif dikontrol oleh kuasa atas tubuh ala Foucauldian. Kemudian, mekanisme pembacaan atas peristiwa atau realitas yang bias dan secara sepenggal-penggal direnggut oleh diskursus intelektual melalui tulisan subversif melebihi aliran musik dan seni patung  (atau pejuang "nasi bungkus" yang “mematung”). 

Serupa halnya dengan rasa sakit dari si penuntut reformasi bukan karena akibat luka, tetapi ketidakhadiran tulisan gila.

Lain halnya, peristiwa anyar yang direpresentasikan musik. Ia merupakan pembangkit jiwa, didengar sekaligus dibaca dalam kedalaman maknanya. 

Musik mengatasi dirinya dari lirik lagu yang tertulis. Musik dengan lirik lagu "pedas" yang tertulis, apalagi bernada kritik sosial ‘penanda despotik’ (otoritarianisme ala Soeharto).

Tanda-tanda dan jejak-jejak peristiwa penting memang tidak sepenuhnya berasal datang dari buku. 

Tetapi, obyek memengaruhi hasrat dan selera terhadap tulisan. Teks tertulis masih terus menjadi wilayah rawan lantaran buku atau tulisan didalamnya ada ‘subversif’ yang senyap.

Sebagaimana penulis, seorang pelukis pun bisa membuat suatu komposisi warna pada suatu obyek lukisan, menutupi celah seni, khayalan, dan imajinasi (bukan si boneka fotografis), yang tidak dituruti sesuai dengan pilihan. Pelukis tanpa jarak menurut selera seperti warna baju yang dipesan oleh kolektor lukisan.

Merepresentasikan lukisan, dalam obyek lukisannya dengan cara menguras gaya dan rahasia melalui kanvas sang pelukis, selanjutnya ditransformasikan kehadirannya dalam cermin, tanpa  gambar hidup. Mengikuti lintasan dan jejak yang ditinggalkan, aliran cat lukisan sesuai aliran hasrat untuk melukis sembari menatap hari-hari yang tidak menyisakan saat-saat lengang.

Sesungguhnya setiap gambar hidup (bukan sebuah cerita dalam film) sebagai obyek hanya melayang-layang antara representasi dan ketidakhadiran rujukan tulisan. 

Tentu saja tulisan perlu celah dan ruang kosong. Dari lintasan dan jejak peristiwa sebelum celah dan ruang kosong bagi tulisan lebih mewaspadai ketidakhadiran rujukan.

Apa yang bertamasya dengan tulisan sejauh ia menertibkan dan melampaui kegelapan citra cermin (akibat teror cermin atau bayangan diri), saat penundaan kesedihan, rasa benci, dan taklid buta, seperti hasrat yang telah keluar dari lingkaran represif menjadi subversif, yang diselipkan dalam razia buku. Bagaimanapun juga, aliran produksi hasrat mesti bebas dari rezim kuasa yang represif. 

Lebih dari itu, ketidakhadiran pikiran menjadi aliran tulisan-gambar, seperti fotografis dengan lintasan dan jejak-jejak dunia indera tidak pernah cukup menghasilkan kedalaman selera.

Setiap kata-kata dan angka-angka dalam kecerahan wajah para aktivis dan tokoh reformasi di bagian dalam mendadak keluar dari gambar ganda: ilusi dan mimpi. 

Apa yang diserap gaya dalam gambar bukan yang ada pada ‘isi’ penampilan, tetapi sesuatu yang telah keluar dari teka-teki, dari sesuatu yang samar atau bukan sesuatu yang tidak terlihat dari tubuh. Ketika terjadi ketidakhadiran pikiran, maka aliran hasrat yang memisahkan dirinya dari sesuatu yang awalnya tidak masuk akal ‘menjadi masuk akal’. 

Untuk hal tersebut, sebuah tulisan subversif setidaknya akan memadukan aliran hasrat dan aliran bid'ah.

Katakanlah, seorang kolektor lukisan melihat representasi lukisan hanyalah khayalan mentah dari aliran produksi benda. Perpaduan gambar dan aksiden bercampur-aduk representasi gambar yang memuat peristiwa-peristiwa segera ditandai, menguji apa ingatan muncul atau tidak, sejenis daya pesona yang menerobosnya. 

Saya melihat cahaya bukanlah cahaya matahari yang jika saya melihatnya secara terbuka dan tanpa berkedip sedikitpun akan mengganggu mata saya, tetapi kesilauan yang berbeda dari obyek luar sehingga permulaan tanda ada di akhir tanda.

Dari titik awal, cahaya bukan hanya kesilauan jika memandangnya, tetapi juga melepaskan representasi diri yang termuat dalam gagasan  mengenai aliran  gambar matahari ataupun cahaya artifisial melalui citra atau media yang dibuat secara sederhana dan berkelimpahan. 

Sebagaimana Michel Foucault melihat serangkaian tanda, benda-benda atau representasi diri telah lama dididik secara terbuka oleh episteme. Suatu penyingkapan kekerasan cahaya (fotografi, gambar-tulisan di layar ponsel atau medsos) telah digembar-gemborkan dalam pemikiran modern.

Dibandingkan seni atau gambar tidak merepresentasikan dirinya dengan obyek  ingatan, maka obyek hasrat dalam lintasan dan jejak sebagai makna yang tidak pasti bagi tulisan. 

Karena berbeda dengan tanda, gambar membutuhkan kemandirian wujudnya sebagai prasyarat untuk memasuki dunia nyata yang ditandai. 

Wujud nyata semakin dimiripkan dan disisipkan dengan yang lain menjadi gambar tiruan sekalipun. Gambar tiruan itu tidak akan dihabiskan demi meloloskan representasi gambar pergerakan Reformasi yang bukan bayangannya sendiri, karena gaya seni terlepas dari sesuatu obyek yang dapat direpresentasikan sesuai dengan selera yang tidak terlihat. 

Suatu gambar bukan hanya rentetan peristiwa keluar dari representasi, tetapi juga penyiksaan, bukan pengaturan, dan penampungan, bukan peniruan belaka.

Kita ingin memahami apa rahasia dari tubuh, tanpa disamarkan dengan obyek representasi yang sewenang-wenang memaksakan citra cermin sebagai pengganti abstraksi pergerakan subyek yang sejarak dengan titik pantulan gambar atau buku revolusioner (wah, terilhami dengan ‘hasrat revolusioner’ ala Deleuze-Guattari). 

Begitupun juga teks tertulis, ia memiliki kekuatan sekaligus kontradiksi bagi yang tidak ingin terjerumus kedalam pembacaan tunggal, sehingga setiap aliran tulisan yang berbeda dengan aliran massa yang mengambang bebas.

Kini, gambar hanya bisa diselesaikan dengan gambar, tulisan dengan tulisan. Nyatanya, tulisan dari penulis hanya bisa dibantah dengan tulisan lain. 

Pantaslah, aliran tulisan melibatkan aliran hasrat dan aliran modal. Di luar sana, sebuah lingkaran bayangan hitam ditemukan dalam kedalaman yang kosong (kesadaran, selera, moral). Aliran tulisan menyertai serangan-serangam nafsu birahi.  

Sampai saat ini, bukanlah karena hanya proposisi meletakkan manusia dalam relasi-relasi tanda, tetapi, kita juga tidak bisa dipisahkan dengan penguasa, pendosa, dan budiman. 

Kata lain, bahwa tulisan menjadi jejak dan tanda melalui peristiwa-peristiwa yang lucu, biasa, dan tragis agar bisa diingat kembali.

Akhirnya, ketidakhadiran kesadaran (pikiran) menjadi tanda hilangnya segala sesuatu yang masuk akal secara mutlak dan bersifat tunggal darinya. Kecuali ditata ulang peristiwanya melalui tulisan.

Sepanjang pengetahuan kita, peristiwa kejayaan sekaligus kehancuran kuasa. Gambar kuasa adalah suatu lintasan dan jejak yang memisahkan subyek dan obyek dengan jarak tertentu yang tidak teratasi dalam kelengahan tulisan, tempat dimana rezim tanda memulai mengalirkan materi sebagai sesuatu yang berbeda dengan "mesin abstrak" (hasrat). 

Namun demikian, dalam tulisan yang plural, rezin kebenaran dari negara tidak serta merta dibentuk oleh penulis dan pembaca. Dia cukup jauh berpetualangan bersama birahi, selera, hasrat, kesenangan, dan khayalan sebagai "mesin abstrak." Suatu mesin abstrak itu ada sebelum rezim kuasa tumbang atau pra lengser keprabon Soeharto sebagai penguasa Orde Baru.

Kita berbicara sampai pada satu titik yang belum terpikirkan. Coba kita bayangkan. Hasrat untuk menyumbangkan rezim kuasa terpenuhi, tetapi lupa membangun sistem.

Sebelumnya, krisis moneter, akhirnya jeblok ke tingkat pertumbuhan ekonomi negatif. Rentetan kerusuhan sosial meledak seantero negeri. Selanjutnya, gejolak hasrat massa (mahasiswa, rakyat) melawan hasrat untuk kuasa menandai suksesi kepemimpinan nasional.

Rupanya, hasrat massa menghadapi tiga hak yang terjalin kelindang.

Rezim diskursus yang dibentuk oleh kuasa, demonstrasi dan pergerakan massa lainnya diliput oleh media, diantarnya melalui fotografi atau tulisan, penculikan hingga penembakan mahasiswa atau aktivis sebagai bentuk teror maupun teror dalam pemikiran yang berbeda.

Sudah bukan rahasia lagi, bahwa kita melihat akhir dari rezim kuasa negara tanpa tiruan dan kemiripan saling berinteraksi dengan tezim diskursus. Hasrat dan tubuh yang terjinakkan (selain para aktivis dinyatakan gugur dan hilang) makin hari makin ”binal” dan tidak terkendali. 

Rezim penggandaan tanda menutupi titik celah antara pergerakan aliran tulisan dan aliran hasrat. Aliran tulisan dan aliran gambar bergerak melalui tubuh menuju tanda bebas yang dimainkan.

Tetapi, materialitas kesadaran melalui fotografis berupa model dan lukisan tidak lebih hidup  tanpa tulisan. Sebuah lukisan tetap menjadi lukisan, fotografis tetap sebagai fotografis. 

Berkaitan dengan hal ini, pada saat tertentu, aliran tulisan dan aliran gambar saling mengisi satu sama lain.

Saat lain, tubuh memisahkan dirinya dengan relasi dan representasi. Kita seringkali meraba-raba lintasan dan jejak dengan pertanyaan remeh, seberapa luaskah teka-teki jika terdapat obyek figur atau gambar tertentu diantara jurang subyek dan obyek yang kita bayangkan sendiri tidak tertuntaskan, sekalipun tulisan dikucilkan di saat malam terjaga, gambar tiruan tetap menyimpan teka-teki di balik tubuh atau benda-benda luar. 

Kemudian, tulisan dikacaukan oleh persfektif tunggal teoris (mengapa muncul terorisme?). Teroris bersolo karir melalui persfektif tunggal.

Bukan hanya tubuh, mimpi dan pikirannya dikuras sedemikian rupa oleh realitas. Seluruh obyek yang direpresentasikan dari serangkaian gambar buram, figur pujaan yang samar dan teks yang dibaca mengalami ketidakhadiran subyek (pikiran), akhirnya menemukan dirinya sebagai rezim kebenaran digiring dalam kesadaran buruk. 

Memang betul, aliran tulisan dan aliran hasrat melalui tubuh. Suatu aliran gambar yang keras akan menyentuh tubuh. 

Ia bukan berasal dari tulisan yang membuat aliran gambar berubah menjadi aura penderitaan.  

Bukankah tulisan berbeda dengan ilusi? Aliran tulisan seiring aliran hasrat. 

Kadangkala kita lebih mengikuti ilusi daripada ketidakhadiran makna di balik tulisan. Ketidakhadiran makna dan bagi yang lainnya menunggu meledak dalam keindahan tubuh.

Lihatlah, lintasan dan jejak peristiwa dan pengalaman artistik diperhatikan sampai kepada pemenuhan logika sederhana dan menjadikan pilihan tepat sebagai bagian dari pengetahuan baru!  

Dalam aliran hasrat, subyek memahami kekuatan obyek yang memisahkan dirinya dengan tatanan proyeksi, suatu jalan terjal dan berliku-liku melalui apa yang bukan khayali dan persepsi belaka. 

Bayangan diri lebih tinggi daripada keindahan, karena keindahan dapat dimiliki oleh subyek akan memahami dirinya melalui tubuh. Lalu, keindahan tubuh (aura kekerasan rasial, seksual) bukanlah suplemen dari tubuh atau obyek yang kita lihat sebagai penampakan paling telanjang, tetapi bayangan dari ketidakhadiran petanda transendental. Sebaliknya, menarik diri dari tipuan representasi gambar asli. 

Tubuh yang digambarkan melalui tulisan tidak lebih dari pernampilan dalam relasi timbal-balik (seperti sensasi kesenangan melalui tubuh). Tubuh yang menempatkan dirinya di bawah obyek yang sama dengan kadar mawas diri maupun skandal terselubung terjadi antara hasrat dan tubuh. 

Sedangkan perkara berikutnya, gairah (di balik tubuh rasial) sedapat mungkin digambarkan dalam rezim tanda, yang diletakkan di pusat lingkaran teka-teki peristiwa tragis. Kita tetap perlu melihat peristiwa tragis. 

Obyek-obyek yang diketahui tetaplah pada tempatnya. Tulisan subversif bakal ditemukan setelah aliran-aliran deras gambar peristiwa yang dianggap sepeleh oleh pihak tertentu. 

Tetapi, tubuh yang ”dimainkan” secara berulang-ulang oleh para pemain tenar ternyata memilihnya sebagai fantasi dan kesenangan yang khas.

***

Sebelum realitas baru (hologram, Artificial Intelligence) di depan mata kita. Ia tidak berarti diselesaikan dalam kekosongan demi kekosongan makna sebagai buaian panjang tanpa terminal terakhir dari penghancuran tanda kehidupan. 

Seseorang tidak akan berteriak, tolonglah aku dari bahaya malapetaka besar di luar! Lenyapkanlah perusak pesta ekstasi atau lupakanlah kebangkitan tulisan! 

Sesuatu yang indah sebelum tubuh dijinakkan, maka lukisan sesungguhnya menjadi momentum bagi tulisan mencapai taraf diskursus.

Tidak semua keindahan dalam model bisa ditemukan dalam matematika, kecuali daya tulisan. Satu-satunya keselarasan dipolesi dengan proporsi dan simetri sebagai syarat yang sama menjadikan keindahan dan tulisan ditunaikan sekalipun titik sumbu dan arus nilai yang berbeda.

Proposisi: semakin tinggi indeks harga konsumen, maka ada kecenderungan kualitas datang dari hasrat sekaligus kesenangan dan selera diciptakan oleh benda-benda dan pabrik. Indeks harga konsumen menunjukan kuantitas, yang dijangkau oleh nilai tanda (berduit, "berkelas").

Tetapi, peristiwa inflasi akan mengarah pada nilai tanda. Ia akan menjadi penanda yang berbeda (berkantong tebal," tajir dan bokek alias kere). 

Apa yang kita ketahui mengenai modal, harga, selera, hasrat, bunga, pengendalian inflasi, stabilitas harga, dan pertumbuhan ekonomi juga akan menjadi artikel berita (tulisan tentang peristiwa).

Dalam kaitannya dengan ketidakpastian makna dari tulisan, yang digerakkan oleh hasrat dan kesenangan di balik kelimpahruahan obyek nampak "menguap." Di sini, mekanisme hasrat melebihi mekanisme pasar.

Belanja online yang didorong oleh hasrat, tanpa berpikir panjang apakah seseorang sesuai dengan kebutuhannya dan barang yang dilihatnya di layar medsos itu ori atau bukan (pilihan berbeda dari setiap orang). Mungkin tidak ada secuil kelimpahruahan obyek yang akan diminati jika tidak melibatkan aliran hasrat, aliran tulisan, dan aliran modal. Saya kira, soal pasar, tulisan, dan tubuh saling melengkapi di hadapan wujud ganda: asli dan tiruan.

Singkatnya, tulisan tentang pasar adalah koeksistensi dan koherensi pengetahuan mengenai garis-garis elastis sekaligus titik singgung dari satu sumbu ke sumbu yang sama memungkinkan terkoordinasikan dengan tubuh. Itu tema tulisan lain. 

Bagaimana dengan tulisan tentang politik? Strategi pengendalian, stabilitas, dan penjinakan tubuh agar bisa dikuasai ala Foucaldian.

Tulisan bisa direpresi oleh rezim diskursus yang dimainkan oleh tanda kuasa. Sehingga tulisan memenuhi dirinya dengan cara memenuhi kepentingan politik. Kecuali tulisan itu sendiri melayani setiap bahaya yang mengancam sang penulis.

Bahwa selera selalu menunjuk kehadiran benda luar, padahal dalam ruang yang tidak nyata. 

Dari sini, suatu tulisan ditopang oleh tubuh mengakhiri ’logika iklan’ karena aliran hasrat yang telah membentuk sebelumnya.

Suatu mekanisme pendispilinan tubuh sampai ia mengetahui dirinya jika subyek dan obyek dapat dibaca lintasan dan dan jejaknya melalui tanda kuasa di ruang yang tidak nyata, bukan simbol masa lalu ditarik kedepan (misalnya, “kode adu nyali” lewat panjat tebing). 

Oh, seru! Khayalan dan salinan gambar nyata jadi buyar merupakan obyek demi obyek atau dari subyek ke subyek bukan melalui proyeksi tubuh yang telanjang, seperti sebuah lukisan dengan sosok gadis cantik memperlihatkan dirinya kepada pelukis sebagai representasi lukisan yang telah diserap atau dilahap habis keindahannya. 

Ia sebagai subyek bagi subyek yang lain atau sebagai sesuatu yang nyata dan terbalik di balik obyek gambar yang tergantikan oleh tanda. Ia bukan obyek yang ditunjukkan oleh perbedaan pelukis dan model, tetapi menunjukkan apa yang mesti diterangkan dan disamarkan lukisan direpresentasikan secara berbeda, yakni ‘bentuk’ transformasi.

Karena tanda bukan penampakan remeh dan gambar yang direpresentasikan, maka bentuk-bentuk yang memikat di balik peristiwa, titik dimana suatu proyeksi gambar ditelan oleh tubuh. 

Tulisan tidak berarti bahwa setiap sesuatu diganti dengan hal baru dalam makna denotasi atau sejatinya; atau setiap sesuatu dari bagian tatanan sebelumnya dapat direkayasa atau dimodifikasi menjadi asli dan nyata. Ketidakpastian dari teks tertulis datang dari hasrat untuk menulis, yang membentuk dunia nyata, ori, asli dari mimpi dan khayalan.

Tubuh, tanpa monumen dan galeri dilintasi oleh tanda perlawanan dari dua lintasan: dirinya sebagai tulisan dan pembacaan. Ia menjejaki setiap ketidakhadiran makna dari tulisan menjadi sesuatu yang terbuka untuk ditafsirkan secara berbeda.

Begitulah, ada sekurang-kurangnya sebagai tulisan perlu dikorbankan demi bayangan yang mengerikan (karena manusia takut pada bayangannya sendiri). Bukan perkara turunan langsung tulisan, teknologi justeru bercerita kepada kita, bahwa manusia baru penuh citra mengelilingi dirinya: ada di bagian mata, bertengger di mata telanjang, bersembunyi di balik baju, gagah di kamp militer, di balik meja, di atas kertas, di balik mimpi kita, dan bahkan pesona obyek luar, misalnya bulan yang indah.  

Menyangkut tulisan tentang hasrat dan tubuh sebagai sesuatu yang imanen. Filsuf sudah berbicara tentang lenyapnya makna atau petanda transendental. 

Apalagi yang kita jagokan? 

Citra dihubungkan dengan indera. Karena bukan hanya ungkapan kebahagian dan keindahan adalah menyatu dengan pikiran, layaknya menguras tanda ekspresif (citra senyum dan rintihan) dan membajak kehadiran makna menjadi ketidakhadiran pesan. 

Tetapi juga obyek tatapan mengenai berbagai bencana alam, perang, kelaparan, wabah penyakit, dan tentu saja tidak sedikitpun rasa mengabaikan ’tubuh tidak terbatas’ (alami dan artifisial) sebagai penampakan obyek. 

Sejauh ini, saya akan lebih berhati-hati melihat, bahwa setiap materi dan non materi terdapat ilusi.  Lantas, pemikiran paling menarik adalah pemikiran yang terbebas dari prasangka dan ilusi. 

Demikian pula, ketika kita akan memulai membuka mata telanjang sehabis bangun dari tidur, ia bukan hanya bersentuhan langsung dengan realitas: ekonomi, politik dan sejarah atau peradaban diri, tetapi juga suatu dunia nyata yang disaksikan melalui sekedipan mata. 

Suatu tanda kehidupan (misalnya, sebagian kepala menyaksikan sinema tentang kepunahan manusia atau akhir kehidupan) menjadi atau sekaligus sebagai ’partisipan’, karena ’isi’ pesan ditawarkan mengenai gambar peristiwa menciptakan citra yang benar-benar nyata, tempat dimana bayangan diri ditumpahkan.

Tubuh mungkin digandakan dengan keadaan oposisi cermin: bayangan dan lingkaran cahaya yang nyata. Cahaya dan bayangan ditampilkan melalui tubuh.  

Toh, tubuh tidak semata-mata diseret dalam wujud alami. Setiap kemiripan dan reproduksi material adalah kekosongan. 

Dalam tulisan, tubuh yang cuma dilihat secara lahiriah alias materi menuju kekosongan berbeda dengan kemiripan, karena kemiripan hanya bertumpu pada pantulan dan cermin. 

Citra juga dipisahkan dan disatukan kembali dengan suatu realitas diri melebihi realitasnya sendiri yang tidak terbatas. Di bawah wujud virtual, setiap materialitas kesadaran tidak lebih daripada turunan atau salinan dari dirinya sendiri. 

Sedangkan ruang meditasi dan ’si empu tulisan’ tidak diganti atau direproduksi, melainkan didandani oleh pelukis, tatkala lukisan lebih alami daripada fotografis, maka gambar yang diproyeksikan merupakan cara untuk melepaskan diri khayalan birahi. 

Birahi bukanlah negativitas, tetapi sebagai bentuk kematangan pemikiran. ”Tubuh” di balik menjadi luapan aliran cahaya, yang bisa membanjiri ruang pengetahuan setelah hasrat yang terkontrol sebagaimana lukisan menghasilkan obyek di atas kanvas. 

Lukisan dan pelukis tidak lagi predikat yang menghubungkan dirinya dengan obyek nyata.

Subyek berupa kesadaran telah tereksplotasi menjadi obyek selera meruangi diri dan tenggelam di bawah permukaan kanvas. 

Tetapi, kita dapat melihat, bahwa luapan arus ereksi dan puberitas yang tidak terkontrol atau rezim dispotik akan merenggutnya dan menyamarkan kilatan citra, tanpa kanvas dan korden menutupi kembali cahaya dipancarkan oleh lukisan. Dalam gambar yang jelas dan nyata, lebih cerdik dari ’rezim kebenaran’ dari kuasa yang hadir dalam kehidupan. 

Kini, tidak lebih dari penghapusan jarak dan pengucilan posisi subyek dan obyek, daya ereksi dan puberitas yang tidak terbatas melebihi dirinya sendiri; tidak ada representasi diri, ini berarti kekacauan citra pikiran dialirkan kedalam diri seseorang yang ingin melihat sumber kedalaman selera yang kosong menjadi ’logika permukaan’.

Selain materialitas kesadaran, ada media meledak, mitologi, hasrat, dan kesenangan mengisi ruang pengetahuan mengenai citra gelap, bahwa citra setan pikiran sebagai satu rezim logika dapat  menyembunyikan dirinya dalam logikanya sendiri. 

Tetapi, ia nampak sebagai kebenaran di balik kelamnya peristiwa tragis nyata (citra perang nuklir, bencana kelaparan atau genocide) merupakan citra paling kejam melintasi tubuh dan keindahan gambar tiruan yang diproyeksikan oleh indera. 

Aliran-aliran cahaya dibelokkan, dimana citra dilepaskan tanpa rujukan, ’logika permukaan’ sesungguhnya tidak bersembunyi dalam citra media atau citra teknologi, tetapi ia bersembunyi dalam citra pikiran dan citra mimpi, tempat dimana nafsu diterangi oleh kelengahan fatal dalam cahaya malam dan kabutnya siang. 

Sejauh ini, tulisan adalah agen pengetahuan yang khas memiliki satu pendulum sama dengan logika permukaan di dalam sumbu yang berbeda, sehingga ia berada dalam kemiripannya sendiri, sebagaimana citra melepaskan dan menyerap turunan atau tiruannya sendiri. 

Sebagai obyek yang tidak mengenal arus cahaya di dalam celah yang dipadati tirai kain menghiasi jendela dibungkam oleh teka-teki dalam ruang studio sang pelukis, dimirip-miripkan muatan dengan sebuah ruang meditasi ala Cartesian yang tidak terbatas.  

Tubuh diuji dalam ketidakhadiran makna. Di atas gurun pasir yang terhampar membuat kita masih terjaga. 

Sebaliknya, kedalaman selera yang kosong akan dibuat jelas di tengah ruang penuh warna-warni, tanpa teka-teki saat kanvas dilepaskan dari celah lubang cahaya. Bayangan tubuh tanpa tubuh memenuhi pantulan cahaya terakhir, kedangkalan gambar tengkorak prajurit sisa perang muncul kembali ke permukaan tubuh dengan mimpi di balik sebuah ruang nyata.

Dari aliran cahaya yang menembus celah dinding yang tidak nyata, citra menampilkan dirinya di depan sautu pantulan cahaya figur yang membelakangi dinding yang sama. 

Setelah ini, ada gagasan dalam obyek selera yang ‘tidak rasional’ melintasi wilayah mimpi panjang dan citra tentang dunia.

Misalnya, peti kayu jenazah dari figur agung berbeda dengan kain yang menutupi dua muatan lukisan sempurna dibanjiri cahaya tidak menghentikan produksi teka-teki dari tubuh, bukan citra masa lalu membebani lukisan bertema keindahan tubuh dan lukisan bermuatan sosok horor menakutkan; tengkorak memiliki kedalaman mata yang kosong dari pupil, mungkin salah satu korban akibat peristiwa tragis hanya tidak ditemukan di museum atau monumen peringatan perang sebagai tanda heroik yang sulit dituliskan dan digambarkan.  

Tidak mungkin ada suatu gagasan mengenai kemiripan menerobos citra horor menakutkan dalam ruang penyimpanan jenazah, kecuali korban-korban citra asal-usul dan citra kebebasan akibat eksploitasi dan represi nafsu terpenuhi dalam lintasan citra waktu, dan tidak mungkin juga bersifat material, karenanya menghilangkan ketegasan obyek dari citra gurun pasir dan citra fatamorgana, tanpa bayangan nafsu bertubi-tubi. 

Keterasingan diatasi dengan citra gurun pasir. Ketemporalan, penguapan, dan pembiasan dikenal sebagai citra fatamorgana.

Sebaliknya, hasrat untuk kuasa digiring Dalam pendekatan geometri dan aritmetika. Di luar perhitungan ini merupakan strategi permainan tanda kuasa sama merangsangnya dengan libido. Ia tidak sekadar kontrol.atas tubuh.

Tubuh bisa dikenal dalam relasi kuasa. Strategi kuasa diantaranya bertujuan untuk melenturkan kembali pengaturan yang ketat atas tubuh.

Kuasa sebagai rezim kebenaran yang bertopeng perlahan-lahan terkuak. Secara simpel, kuasa sebagai rezim kebenaran memiliki kata-kata dan pendapat yang dibentuk oleh diskursus, yang kerap abai terhadap pendapat dari pihak lain.

Tetapi, kedalaman selera yang kosong melepaskan siksaan tubuh dalam kaitannya dengan materialitas kesadaran melebihi tyrannus infinitus (penindasan yang tidak terhingga) yang nyata sebagaimana mekanisme hasrat mengambil-alih kebutuhan. Karena itu, jika ia melampaui selera tinggi, maka hasrat dan kesenangan masih tetap nyata sejauh melibatkan tubuh.  

Sejak bahasa atau logika kemiripan dan pembalikan, suatu diskursus kuasa nampak belum berhenti sejenak di ranah hukum. Dalil-dalil hukum disantuni dengan strategi permainan kuasa menciptakan sesuatu yang nyata, dimana keguncangan politik bisa dikendalikan.

Kontrol atas tubuh dipahami sebagai strategi permainan yang dibentuk oleh diskursus demi kuasa, dari satu sumbu ke sumbu yang lain. Antara 'sensasi' dan 'kompromi' melalui skenario yang diramu sedemikian rupa.

Dari sini, relasi kuasa berhadapan dengan ironi, citra fatamorgana gurun pasir, keindahan retorika, dan ketidakpercayaan.

Sebuah representasi gambar yang pincang dan kabur. Suatu aliran warna yang tegas menghilang dalam tanda kuasa.  

Sebuah pengetahuan tentang drama terakhir dari tyrannus infinitus. Kuasa di depan kemiripan obyek yang rancu, ketaklidan yang membuta, dan kepatuhan yang sinis.

Di sana, ditemukan pula kilatan gambar yang samar di balik peristiwa kelam dari kekerasan, yang terkubur dalam-dalam atas nama rekonsiliasi. 

Dalam ketidakhadiran indera untuk mencium bau aneh, suatu pergerakan tanda hasrat dalam kerawanan figur geometris. Citra metamorfosis dibawa keluar dari teks tertulis karena peristiwa tidak lebih dari opini-opini. 

Perpaduan antara citra gurun pasir yang luas dan citra fatamorgana memantulkan turunan atau tiruan juga keluar dari apa yang direpresentasikan yang bukan dalam pemantulan dirinya dari obyek nyata sepanjang seseorang melihatnya sebagai pelintasan subyek dengan melihat pantulan; sebagian peristiwa berbicara kepada kita tentang apa yang nampak dalam selera masih bergema luas dalam citra artifisial muncul sebagai ruang nyata. 

Di situlah, selera sesuai dengan isyarat tubuh, yakni memiliki ukuran, warna, modal dan sirkulasi, karena itu pengalaman berakhir dalam penampakan nyata dari obyek yang dipantulkan sesaat dan dialirkan kembali di dalam celah arus-arus produksi citra. 

Pada momen pergerakan hasrat di antara cahaya tipis, yang direnggut permukaan tubuh di akhir lingkaran malam yang lengang, tanpa citra yang dibentuk oleh tanda. 

Di ruang yang terakhir, cahaya dan bayangan dicapai dalam luapan godaan mematikan dari realitas yang telah tercemar, sebuah noktah hitam memenuhi sebuah gambar yang kabur. 

Ia akan dibersihkan dengan proses penodaan yang berlarut-larut; dihapus oleh kilatan cahaya menerobos ruang. Sementara, aliran hasrat di antara citra muncul dalam cahaya melawan nafsu. Ia mengalir dalam kedalaman moral yang kosong, titik dimana kegelapan dan guyuran cahaya ditengahi oleh tubuh yang monoton.

Nah, dari sana kita akan menjadi jejak-jejak, bahwa citra tanpa medium berbeda dengan kehadiran produksi nyata dari tanda kemajuan industri telah dilepaskan dari satu cermin ke cermin lain, ia lebih hingar bingar daripada proyeksi subyek dan penggandaan. 

Berkaitan dengan citra yang diproyeksikan, fotografis untuk fotografis, lukisan demi lukisan, peningkatan intonasi tidak membuat warna yang jelas menawan citra lukisan yang dipencilkan sejauh rasa indah yang arogan dan tuli, menerima kosmetikasi wajah tanpa senyuman dari bayangan subyek melebihi binatang rasional; dinding tebal dicat dengan luapan arus warna gelap, menawarkan secerca cahaya muncul di balik hasrat untuk membeli sedikit fatamorgana saat kita mulai berdiri tegak mengarungi jalan panjang dan bertemperatur tinggi. 

Di ujung cakrawala, saat perhatian kita diarahkan selera tinggi melalui tubuh murni (tubuh lahiriah) tanpa fatamorgana.

Selera tinggi berarti 'hirarki pengetahuan' (pikiran, indera) tentang obyek nyata menandai mata, hidung, kaki, otot, dan darah tidak nampak mengikuti jejak-jejak yang ditandai dengan ruang tulisan selama lolos dari luar sel-sel hasrat (menulis saat ria gembira atau dongkol) di balik peristiwa-peristiwa yang menghentakkan.

Dapat dikatakan, bahwa kodrat yang tersembunyi diantara gaya dandanan jelek, desas-desus berbisa, tipu muslihat dan kebencian dilepas, citra fatamorgana melawan pantulan dan cerminnya sendiri. 

Ia menciptakan jejak dengan tangan yang berlumuran darah dan otot-otot menegang terus akibat selera rendah dalam lingkaran godaan yang bertubi-tubi. Ia bukan berasal dari sekali ayunan langkah kaki di bumi. 

Dalam fatamorgana, sebuah penampakan tubuh membuat lebih nyata dalam cengkraman dan tantangan. Sebelum perbedaan antara citra padang pasir dan citra fatamorgana, yang nyata dan khayalan menunjukkkan dirinya dalam hasrat untuk kuasa. 

Lebih dahulu, obyek hasrat dengan naskah mendadak menjadi dokumen peristiwa. 

Zaman baru telah datang. Perubahan seiring kuasa yang menyebar. Perubahan dan kuasa mengundang penemuan, mimpi, dan imajinasi yang dilahirkan untuk membelakangi latar peristiwa suksesif dan tragis. 

Di situ pula, yang kuat datang dari tubuh. Ia akan menyatukan godaan dengan  mimpi, penjara, dan topeng.

Dalam ketidakhadiran rujukan; segenggam pasir menjadi gambaran betapa seseorang hanya bagian terkecil dari gurun pasir yang terhampar luas. Sebuah kamera mengabadikan gambaran segenggam pasir. 

Ketika sang musafir mengatasi fatamorgana karena lintasan dan jejaknya yang panjang melebihi fatamorgana nampak di kaki langit. 

Sebaliknya, melalui tanda-tanda dan jejak-jejak, suatu perhitungan jitu berusaha menemukan berapa derajat posisi lintang sehingga nampak penanda gerhana matahari, dimana udara, uap dan permukaan tanah mengurung fatamorgana. Jejak-jejak sang musafir di gurun pasir menjadi pelintas batas setiap gambar atau lukisan, yang diubah dan diganti oleh fotografi.

Sang musafir setelah menginjakkan kakinya di atas gurun pasir, maka petualangan yang dimilikinya berusaha dituangkan dalam teks tertulis melebihi causa sui

Lain halnya, ketika sesuatu yang senyap dan misteri ditawarkan oleh “gurun pasir” berubah menjadi citra artifisial dengan tubuh yang melintasi ruang yang berbeda.

Dalam kisah kecil, mengalirkan penderitan dan bahasanya merupakan nyanyian kemenangan yang menyakitkan dari kekosongan. Oleh para rohaniawan sehingga tatapan sinis kepada mereka yang melampiaskan nafsunya sebagai sesuatu yang sakral ketika ia dibawah kedalam kecerahan, akhirnya, kecerahan membawa kita lebih jelas apa rahasia kegelapan.

Tubuh menyeruak. Tubuh menyejajarkan dirinya dengan nafsu, antara keseimbangan dan kebebasan dengan keragaman makna berarti citra yang dimiliki manusia telah menjadi tawanan gelap. 

Suatu representasi gambar dramatis sebagai kelahiran tanda yang diketatkan dalam tapal batas cahaya dan kegelapan. 

Dalam tarian kematian makna tergiring kedalam lingkaran malam, tubuh dibangun diantara cahaya dan bayangan hanyalah akhir gambar dan figur mengilati mimpi menghilang dalam siang yang kelam. 

Begitulah, hasrat dan tulisan menampakkan dirinya di balik tembok, akhirnya, ia menjadi bayangan teror kehidupan dalam ruangan yang bertaburan cahaya, selanjutnya citra perang akan diulang-ulangi dalam tanda dan jejak, bukan hanya di dalam mimpi buruk dan teks khayalan, tetapi peristiwa yang berbekas bagi kehidupan manusia, diledakkan di dalam materialitas kesadaran, ia bukan berasal dari realitas baru tanpa kemiripan.  

Segala sesuatu yang mencapai kemiripan obyek tidak lebih dari celah mengalihkan aliran hasrat ke aliran gambar. Celah yang lain, ketidakhadiran rujukan menjadi obrolan yang terakhir.

Apakah dunia dalam citra cermin atau prinsip kemiripan tetap sebagai kemiripan, sekalipun lebih nyata dari tanda lainnya? 

Karena itu, setiap gambar dan logika dari selera nyata direpresi kedalam tubuh, tarian kematian berlawanan dengan nyanyian kemenangan sebagai obyek berat sebelah memiliki jarak yang tidak tetap menerobos dinding.

“Merekalah pelaku utama teror yang kejam, dan kitalah pahlawan, karena itu kita berkewajiban untuk menghancurkan sampai citra teroris dikejar di sudut-sudut ruang tersembunyi,” menunjukkan permainan tulisan. 

Ia berada sangat dekat di sekitar kita, di ruangan dan di saku pakaian. “Wajah monster” dalam kebenaran tunggal yang melakukan kekerasan di tengah kelimpah-ruahan tatanan.

Ada apa saudara? Tantangan berat terletak pada materialitas kesadaran yang ditandai dengan ketidaksesuaian antara lukisan atau figur yang direpresentasikan oleh pelukis di dalam ruangan tertentu, dimana ‘isi’ terdalam dari arus obyek nyata diasumsikan atau diprasangkakan secara dangkal. Kabut misterius memiliki terorisme yang menyelimuti citra, dimana realitas nampak meremehkan hasrat atas kekacauan persfektif yang melintasi permukaan gambar. 

Tetapi, masih tanda tanya besar. Mengapa terjadi aksi teror kejam atau terorisme?

Pertanyaan besar berarti teka-teki. Bisa kita berbicara, bahwa citra artifisial tidak memiliki asal-usul dan rujukan, tetapi sesuatu yang ‘nyata’ muncul dari terorisme. Tidak mungkin ada suatu tiruan atau kemiripan obyek menampakkan dirinya dalam terorisme yang menghancurkan jika tanpa alasan. Ia memiliki kemiripan nafsu primitif seolah-olah tidak memiliki lagi jarak dan dengan nafsu modern. 

Karena jenis kekacauan ini melawan tulisan, maka di situ ada seni kritis. Kita hanya bisa keluar dari prasangka dengan cara menyelidiki kembali ruang, yang menyekat tulisan bebas.

Akibat asal-usul dan rujukan dihapus dengan kemiripan dan tiruan. Satu sisi, sebuah mesin ketidaksadaran (hasrat, kesenangan) memasuki realitas baru (era Google). Di sisi lain, aliran tulisan dan aliran hasrat di tengah kelimpahruahan citra atau gambar.

Bagaimanapun juga, suatu kedalaman hasrat melepaskan ikatan ruang, tempat dimana hasrat turunan ditandai melebihi dirinya. Beban kedalaman hasrat yang kosong nampak menonjol tidak mungkin berlawanan dalam dirinya sebagai sumbu alteritas aneh memenuhi syarat kontradiksi internal di dalam jurang antara subyek dan obyek. Saya kira, cukup! 

Marilah kita mengerutkan dahi sebulan lamanya! Ngawur, kacau bukan tulisan ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun